Monday, January 30, 2006

Fahrenheit 9/11 - March of Protests


Tahun 1969, event Woodstock menggariskan suatu bentuk keterlibatan musik dalam bidang politik, isu internasional dan kemanusiaan. Festival yang menjadi simbol kepekaan manusia itu melahirkan ikon-ikon pejuang musik dalam diri Bob Dylan, Jimi Hendrix, Jefferson Airplane, dan sebagainya. Di tahun 1994, sekuel event tersebut coba digagas ulang. Kali ini dengan isu sensitif peralihan generasi (genX), lebih kepada bentuk kesadaran. Hampir berhasil, tetapi tetap saja muatannya lebih komersil. Mungkin dari sederet, Bob Dylan kembali hadir mengaskan ikon festival ini bersama Peter Gabriel dan Cypress Hill. Lima tahun berselang, ajang ini sudah murni menjadi ajang komersil ketika deretan musisi semacam Fred Durst menguasai venue Woodstock 99.

Di tahun yang sama, sebuah kompilasi kemanusiaan dirilis untuk mengingatkan kontribusi musik pada bidang tersebut. No Boundaries, A Benefit for Kosovar Refugees menjadi album yang mengumpulkan kepedulian musisi untuk turut berderma dalam membantu korban perang Serbia-Kosovo. Minus Bob Dylan, tetapi Pearl Jam, Neil Young, Indigo Girls dan juga Rage Against the Machine menjadi ikon baru untuk band-band yang menyisakan kepedulian terhadap masalah yang berada di ujung berlawanan dari industri hiburan. Album ini kembali menghidupkan riak-riak protes sebelum masuk ke era millenium baru di mana sejumlah peristiwa internasional menyulut kontribusi dari industri musik untuk lebih peka.

Awal semester kedua tahun 2001, dunia diguncang oleh peristiwa kamikaze pesawat komersial ke bekas gedung tertinggi dunia, World Trade Center. Tragedi yang dikenal dengan nama 9/11 itu kemudian melahirkan dampak meluas bagi dunia. Amerika Serikat, negara adidaya yang relatif tidak pernah merasa terancam, dengan adanya peristiwa tersebut kemudian mulai melancarkan agitasinya untuk menunjukkan kekuatannya. Afghanistan dan Irak menjadi sasaran dalam lingkup yang lebih kecil. Dalam skala yang lebih besar, banyak hal yang terjadi di balik peristiwa tersebut, yang diantaranya permainan boneka-boneka kapitalis untuk membentuk dunia baru berlandaskan asas mereka. Hal itulah yang menginspirasi Michael Moore untuk melihat lebih dalam, dan mengungkapkan kecurigaan keterlibatan presiden Amerika Serikat, George Walker Bush dalam tragedi kemanusiaan tersebut. Melalui film dokumenter nan heboh-nya, bertitel Fahrenheit 9/11, Moore memberikan pandangan lebih luas mengenai latar belakang dan kemungkinan penyebab peristiwa 9/11 tersebut, dan juga motivasi-motivasi dibalik agresi militer AS ke Afghan dan Irak.

Moore merasa membutuhkan dukungan dari kalangan yang bisa membawakan pesan. Seperti halnya kesuksesan festival Woodstock dan kompilasi No Boundaries, Michael Moore mengumpulkan lineup dan ikon vokal dari industri musik yang peka terhadap masalah-masalah politik dan isu internasional serta kemanusiaan. Bob Dylan kembali hadir dan membawa Bruce Springsteen serta Pearl Jam untuk mengisi lineup kompilasi. Chimes of Freedom dan Master of War dibawakan oleh Springsteen dan Pearl Jam dalam performa live mengisi kompilasi. Kemudian mantan anggota Rage Against the Machine juga turut menyumbangkan dua karya dalam bentuk yang berbeda. Zack de la Rocha membuat komposisi rap-rock yang kental dalam We Want It All, sementara Tom Morello dengan side projectnya bertajuk Nightwtchmen menyanyikan ballad ala Dylan dalam No One Left.

Generasi baru diwakili oleh Black Eyed Peas dan System of A Down untuk membawa suara yang familiar dengan anak muda tahun 2000-an. Steve Earle, The Clash dan John Fogerty masih membawa nuansa generasi bunga tahun 70-an untuk bersikap kritis. Mendengarkan kompilasi ini, serasa membawa alam baru untuk berdemonstrasi positif terhadap pemerintahan. Kontribusi maksimal dari lagu-lagu yang dipilih, mulai dari empati atas korban perang, kebencian terhadap pertikaian politik dan sebaginya adalah suara-suara yang diwakili oleh musisi dalam kompilasi ini. Secara umum, membeli album ini adalah membeli suara dari barisan demonstran yang secara tegas menyuarakan pendapatnya dalam bentuk karya yang indah. Lineup yang terpilih juga merupakan estafet yang bagus untuk menunjukkan adanya ikon musisi yang peduli terhadap masalah kebangsaan dan kemanusiaan. Mulai dari era Bob Dylan yang merintis event Woodstock, sampai ke selera Black Eyed Peas yang mendominasi dekade 2000-an.

Lebih lanjut, beberapa alumni kompilasi ini kembali membuat festival kepedulian dalam tur Vote for Change. Pearl Jam, REM, Death Cab for Cutie dan sebagainya mewakili generasinya untuk bersikap oposan terhadap pemerintahan Bush. System of a Down dan Nightwatchmen membentuk Axis of Justice sebagai poros protes terhadap pemerintahan. Sementara Bruce Springsteen dan Bob Dylan adalah alumni yang menjadi begawan musisi-musisi untuk bersikap kritis!

Song lineup:
1. I Am A Patriot (And The River Opens For The Righteous) - Little Steven & The Disciples Of Soul
2. Chimes Of Freedom (Live) - Bruce Springsteen
3. With God On Our Side - Bob Dylan
4. We Want It All - Zack De La Rocha
5. Boom! - System Of A Down
6. No One Left - The Nightwatchman
7. Masters Of War - Pearl Jam
8. Travelin' Soldier - Dixie Chicks
9. Fortunate Son (Live) - John Fogerty
10. Know Your Rights - The Clash
11. The Revolution Starts Now - Steve Earle
12. Where Is The Love? (Radio Edit) - Black Eyed Peas Feat. Justin Timberlake
13. Good Night, New York (Live) - Nanci Griffith
14. Hallelujah - Jeff Buckley

Friday, January 06, 2006

Female that Struggle (Female that Rocks Pt. II)

Beberapa hari ini gw tengah tertarik sama musisi atau band cewek. Seperti yang pernah gw tulis sebelumnya di blog ini tentang "female that rocks", ternyata dunia musik ini terlalu luas untuk hanya dijejali dengan nama-nama yang udah gw sebutin sebelumnya. Suatu hari gw iseng browsing buat nyari penyanyi/penulis lagu asal Amerika (Bermuda sih tepatnya) yang bernama Heather Nova. For your info, Heather Nova turut menyumbangkan suara merdunya di soundtrack I Am Sam, menyanyikan "We Can Work It Out"-nya The Beatles. Ketika gw penasaran seperti apa CD-nya, gw coba browse ke seluruh toko CD dan kaset yang ada di kota ini. Hasilnya nihil! Rak dipenuhi oleh musisi perempuan yang sangat menggiurkan secara visual bukannya kualitas karya, dengan balutan busana mini, dibawah shower, atau berpose ala orgasme (that half opened mouth, three quarter eyes and sensual expression).


Orgasmatron selling machine...

Lantas gw sadar semacam fenomena yang terjadi, bahwa female pop/rockstar itu suffering dari yang namanya sexual judgement (apa hubungannya sama nyari CD coba?). Lihat saja betapa Britney Spears, Maddonna, atau Destiny's Child begitu diagungkan sampai menjadi seorang diva? Atau di negeri sendiri dimana Krisdayanti menjadi sangat tenar. Fisik sangat menentukan. Itu halnya kenapa ada pilihan juga buat para musisi perempuan tersebut untuk kemudian memanfaatkan "shortcut". Sebutlah dengan menjual imej "bitchy" seperti yang ditulis oleh reporter Trax, Soleh Solihun baru-baru ini tentang duo Ratu (meski secara eksplisit). Di situ dituliskan upaya Maya Achmad untuk ber-attitude "nakal" dalam konsernya di Bandung dengan menyebutkan berulang kali kata yang bermakna bagian privat perempuan dalam bahasa Sunda. Itu hanyalah satu kasus.

Lihatlah bagaimana produser dari duo lain dari Rusia, yang nampaknya menjadi inspirasi Maya Achmad, t.A.t.u. Heboh kasus mereka beradegan cium tampaknya sudah membentuk imej tersendiri mengenai lagu yang mereka lantunkan. Tidak secara "khas" seksi, tapi imej seksual-lah yang membentuknya. Juga heboh-heboh kasus ciuman Britney Spears dan Maddonna serta Christina Aguilera di MTV Awards beberapa tahun lalu. Imej membentuk bahwa mereka seksi (sekaligus naughty), yang tentunya meroket di dunia yang penuh dengan justifikasi citra ini. Sejak era pergantian media, dari radio ke televisi, budaya spektasi-pun turut berubah. Tadinya budaya dengar kini menjadi budaya nonton. Dalam alam budaya dengar, kualitas produk yang berwujud musik itu absolut. Kita kudu ngehasilin karya yang layak untuk didengar melalui radio-radio atau rekaman vinyl. Oleh karena itu, dulu orang beramai-ramai menciptakan karya yang layak putar di radio berwujud lagu yang bagus. Profesi songwriter menjadi lahan bagi diva-diva sesungguhnya sebagai bekal menuju tangga showbiz. Muncul nama-nama Karen Carpenter dan kawan-kawan yang menjadi tonggak musisi perempuan untuk berbicara melalui karya.


Maria Taylor dan PJ Harvey

Medio 80-an, televisi melalui MTV mulai merambah masuk industri. Maddonna menjadi diva bentuk baru dalam budaya lihat. Performa adalah segalanya, dan kebetulan Maddonna yang saat itu sangat menjual kemolekan tubuhnya menjadi ikon biduanita baru dalam industri musik, sekaligus perlahan-lahan menyisihkan musisi lainnya yang berasal dari budaya lama, yaitu budaya dengar. Beberapa diantara mereka kemudian memilih untuk berkontribusi menulis lagu untuk perempuan-perempuan lain yang siap menggunakan daya tarik seksualnya untuk kepentingan publisitas. Dalam bahasa kasar, kini mereka juga menjual tubuhnya selain merdu suara. Kapasitas menulis lagu yang bagus bisa ditutupi dengan sensualitas atau sensasi lain yang didukung oleh budaya lihat (a culture of spectacle) tersebut.

Mulai dari tahun 90-an sampai sekarang bisa dibilang jika musisi perempuan yang ol-skool (dari budaya dengar) sudah terpinggirkan sepenuhnya. Siapa yang mendengarkan Janis Joplin sekarang? Lagu Joan Jett lebih dikenal sebagai lagu Britney Spears, serta beralih profesinya Linda Perry menjadi songwriter untuk Christina Aguilera dan Pink. Beberapa di antara musisi ol-skool itu masih ada yang struggle untuk berjuang melawan culture of spectacle ini. Sebut saja Indigo Girls yang dalam sleeve album Retrospective-nya mengungkapkan perlawanan militan terhadap apresiasi yang seimbang bagi musisi perempuan. Terus terang gw cuman tahu Indigo Girl ketika mereka berpartisipasi dalam album kompilasi "No Boundaries: A Benefit for Kosovar Refugees" dengan lagu semi trip-hop-folk-dark berjudul Go. Ternyata setelah gw dengerin lagi (dari Retrospective, album best-nya) Indigo Girl merupakan "saingan" bagi musisi folk pria. Karyanya bisa dibandingkan dengan karya Bob Dylan sekalipun (dalam taraf apresiasi). Duo yang juga menolak segala imej atas potensi seksual mereka (dengan menolak komersialisasi) ini juga membentuk semacam aliansi bagi musisi-musisi perempuan untuk turut melawan "penindasan" terhadap apresiasi musik mereka yang akibat pergeseran media menjadikan mereka hanya semacam objek, bukan subjek.


Kiri atas searah jarum jam: A Girl Called Eddy, Heather Nova, Mono dan Shivaree

Festival Lilith Fair diadakan salah satunya oleh Indigo Girl, dan diprakarsai oleh musisi perempuan lain bernama Sarah McLachlan. Semua tentu pernah mendengar dahsyatnya kekuatan musik dari McLachlan dalam lagunya yang berjudul Angel, Sweet Surrender, atau Possesion. Kemampuannya dalam mengolah adonan musik dasar rock, folk dan juga pop membentuk karakter musiknya sendiri. Selain Indigo Girl dan Sarah McLachlan; Sheryl Crow, dan Jewel juga pernah berpartisipasi dalam Lilith Fair. Lilith Fair secara berkala mengadakan tur keliling Amerika Serikat dan juga Eropa untuk membangun eksistensi mereka dalam dunia musik. Melalui rangkaian konser, promo mereka mengikuti promo ol-skool yang tidak pernah berlebihan tampil di media televisi, namun mengadakan interaksi aktif dengan penggemarnya dalam rangkaian konser. Mungkin jika Britney Spears, Ashley Simpson, dan Destiny's Child mengadakan konser, banyak laki-laki yang mungkin tertarik untuk turut menonton jauh dari sifat apresiasi terhadap karya. Tetapi juga kemungkinan untuk memanjakan nafsu-nafsu seksualnya yang bisa sedikit tergambarkan dalam aksi panggung Spears dan kawan-kawan. Lihatlah Lilith Fair! Sebagian besar audiens adalah perempuan yang merasakan nikmatnya apresiasi kesetaraan. Melihat Indigo Girl bermain improvisasi bersama Sheryl Crow memainkan lagu-lagu lama Cat Stevens sama nikmatnya seperti kita melihat Eddie Vedder bermain bersama Bruce Springsteen memainkan lagu Bob Dylan. Itu adalah apresiasi kesetaraan. Let the music do the talkin'!


Kiri atas, searah jaurm jam: Suzanne Vega, Sleater Kinney, Indigo Girl dan Marissa Nadler.

Tapi lihatlah juga apa yang telah dilakukan industri musik terhadap mereka. Susahnya kita di Indonesia untuk mencari CD-CD dari Indigo Girl, Heather Nova, Aimee Mann atau Sarah McLachlan? Cobalah mencari musik-musik dari artis seperti A Girl Called Eddy, Shivaree, Ani Di Franco, Sarah Fimm, atau Maria Taylor. Tidak akan ada yang menyadari nikmatnya mendengarkan folk psikedelik dari Marissa Nadler karena albumnya tidak pernah ada di Indonesia. Mungkin ketika kita beruntung, beberapa nama itu akan muncul dalam album kompilasi seperti soundtrack. Misalnya Suzanne Vega yang beberapa kali berpartsipasi dalam soundtrack, salah satunya bersama Bruce Springsteen, Eddie Vedder, Nusrat Ali Khan di OST Dead Man Walking. Atau Shivaree yang dipercaya Quentin Tarantino dalam jukebox Kill Bill bersama Nancy Sinatra. Indigo Girl berdiri sejajar dengan aktivis sosial semacam Pearl Jam, Rage Against the Machine, Neil Young dan Tori Amos (another diva). Michelle Branch diakui kapabilitasnya bersama Carlos Santana. Atau di kancah lokal dengan munculnya Tika dalam wujud album perdanaya Frozen Love Songs. Serta Sarah Silaban yang meluncurkan singel-nya. Mereka berjuang membentuk kutub tersendiri melawan eksploitasi industri musik atas "pelecehan seksual" gaya baru. Tetapi sebagai bangsa konsumen, di Indonesia kita masih butuh perjuangan untuk melanggengkan perjuangan kesetaraan tersebut karena terbatasnya sumber-sumber. Mungkin jika makin banyak Sarah Silaban, Tika dan sebagainya kemudian membangunkan Lilith Fair ala Indonesia, kesadaran apresiasi yang seimbang itu akan muncul. Suatu pelajaran budaya yang menarik. Sampai waktu itu, terimalah kenyataan bahwa seorang Kelly Osbourne atau Kelly Clarkson jauh lebih populer dibanding Heather Nova atau bahkan Indigo Girl.


***

Recently bought CD's:
Victoria Williams - Loose: Folk, salah satunya ada lagu Crazy Mary tentang perempuan pemabuk. Sedikit seperti Neil Young atau Bob Dylan, something in between. Suara cempreng tapi lirik lagu yang dahsyat.

Fiona Apple - Tidal: Apa yah klasifikasinya? Trip Hop, Jazz, Pop sama Rock ada semua. Secara umum masih kurang rapi sih konsepnya, tapi coba denger dengan low tune sambil tidur. Menggetarkan dan bikin atmosfer yang lumayan dark. Membuat ruangan kita menjadi makin nyaman.

Indigo Girl - Retrospective: Powerful! Folk dan pop bisa menjadi irama-irama yang soulful. Coba didengarkan atau dimainkan sama bagusnya. Sama enjoynya gw mendengarkan Vedder atau Bruce Springsteen. Sama enjoynya dimainkan di api unggun.

Sarah Silaban - EP: Well, pop, tapi at least dia juga seorang songwriter jempolan! Mulai cinta produk lokal nih.

Recently downloaded and will murder to get their CD's:
A Girl Called Eddy (hmm...mirip-mirip Shirley Manson-nya Garbage, lebih halus lagi. Rock),
Ani di Franco (ini nih gw demen, bayangin Bu$hleaguer-nya Pearl Jam disuarain sama Ully Sigar Rusadi...dengan suara yang lebih merdu dan isu yang lebih nendang tentunya),
Linda Perry (we all know, the frontwoman of Four Non Blondes),
Maria Taylor (antara Fiona Apple dan Sarah McLachlan...keren banget),
Marissa Nadler (didengerin sambil mabok...hehe, psikedelik sekali, ala 60-an kental),
Nina Nastasia (musik minimalis, suara merdu a lil' bit trip hop...bolehlah buat yang suka Bjork dengan kecenderungan lebih easy listening),
Pink N Ruby (trip hop, ala Massive Attacks tapi lebih mentah jadi sedikit gothic juga),
Sarah Fimm (another trip hop-rock yang keren dengan suara "gelap" dan gloomy, mungkin mirip sama Fiona Apple juga di album Tidal),
Sophie Barker (folk-country dan cenderung pop),
Tara Angell (dark dan moody, gloom...didengerin di low tune).