Sunday, April 30, 2006

Coduroy

Lagu favorit gue sih. Dan sampe sekarang menjadi lagu paling "wajib" di setlist Pearl Jam (the most played), dan make sense sih. Majalah SPIN bilang ini lagu yang paling bagus yang pernah dibikin Pearl Jam. Cannot more agree than...musically (kalo lirik, gw masih merasa direpresentasikan oleh "I Got ID"). Kira-kira tentang apa ya "Corduroy"?

Friday, April 28, 2006

Pearl Jam Comes Alive

Rocker-rocker gaek yang bakal merilis album, meski konsekuensinya mengembalikan lagi ketenaran yang justru mereka benci.

Oleh: Lorraine Ali (Newsweek - Mei 2006)

Eddie Vedder masih juga menulis dengan menggunakan mesin ketik manual. Dirinya juga tetap menyimpan surat dan arsip-arsipnya di dalam sebuah tas tua buatan perang. Kartu-kartu kredit Vedder juga masih tersimpan dalam dompet plastik Batman-nya, sementara sepatunya masih memakai sepatu boot tua dan sepasang kaos kaki warna biru. Tidak ada yang berubah, seperti juga keengganannya untuk membicarakan segala sesuatu tentang Pearl Jam. Dia lebih suka bicara tentang politik. The same ol' Vedder, meski sekarang statusnya telah meningkat sebagai seorang ayah dari putri berusia 21 bulan, yang suka menyanyikan lagu single terbaru ayahnya itu, World Wide Suicide, di playgroup-nya. "Dia suka menari sambil melantunkan 'Suicide, Suicide'." kata Vedder, "Dan itu membuat saya penasaran apa yang ada di benak orang tua murid lainnya." Sungguh pribadi yang sangat sederhana, jika kita menengok kembali rentang panjang karirnya bersama band-nya Pearl Jam. Pearl Jam adalah band yang selalu menjaga privasi mereka. Setelah sukses di debut album perdana mereka, Ten (1991) -dengan angka penjualan sebesar 10 juta kopi sampai saat ini, band asal Seattle tersebut justru menolak segala bentuk eksploitasi. Menolak endorsement, kecuali untuk peralatan musik, dan tidak pernah melakukan promosi yang berlebihan, termasuk tidak membuat video-klip yang saat ini sangat terbukti mendongkrak harga jual artis. Ditambah dengan fakta bahwa album mereka cenderung selalu menurun hype-nya dibandingkan album-album pada awalnya (coba Anda sebutkan apa judul dua album terakhir Pearl Jam!). Meski melawan arus industrialisasi musik, Pearl Jam tetap dianggap sebagai band yang "penting" dewasa ini (atau justru karena mereka melawan-kah?). "Hal yang mengancam adalah justru standar normalisasi kehidupan manusia di dunia sekarang ini," ujar Vedder (41 tahun), di markas Pearl Jam yang berada di luar kota Seattle. "Ketika kita mulai melihat identitas hanya berdasarkan persepsi publik, apa yang diinginkan publik. Hal ini sangat sering saya lihat. Banyak orang yang melakukannya, dan beberapa diantaranya sangat meyakinkan, dengan imej mereka terhadap publik. Saya sendiri? Saya memilih untuk melakukan kebalikannya.'

Dan apa yang dikatakan Vedder tersebut bisa kita dengarkan dari nyanyiannya di album terbaru Pearl Jam. Album tersebut adalah album mereka yang ke-8, dan yang pertama dirilis di bawah J Records (label yang merilis album-album Alicia Keys dan Chris Brown). Album ini juga merupakan album yang paling spontan dirilis sejak album ketiga mereka, Vitalogy (1994). Masih adakah yang mendengarkan lagu-lagu Pearl Jam? Sejauh ini sih, masih. Radio mulai memutar kembali lagu Pearl Jam, dengan singel World Wide Suicide bertengger di puncak tangga lagu modern rock Billboard. Dan frekuensi airplay-nya lumayan banyak untuk singel perdana dari album yang rencana dirilis 2 Mei ini.

Seperti yang kita duga, bahwa Pearl Jam sebetulnya agak terganggu dengan frekuensi pemberitaan dan perhatian menyusul keberhasilan singel mereka tersebut. Di sebuah gudang tua, yang juga merupakan kantor TenClub dan ratusan reel rekaman Pearl jam, para personil Pearl Jam tengah berbaris menunggu sesi foto. Sambil terdiam, seperti halnya tahanan yang menunggu regu tembak menyiapkan amunisi. Sukses sebelumnya, dengan puluhan konser keliling dunia telah menahbiskan Pearl Jam sebagai band yang punya banyak fans. Pertanyaannya: perlukah mereka menjalani ritual promosi seperti itu lagi? Jawabannya ternyata bersifat politis. "Sudah cukup banyak suara-suara yang berisi frustrasi dan kemarahan mengisi atmosfer bumi sekarang ini," tukas Vedder (seorang perokok aktif, meski kualitas vokalnya seakan tidak pernah terpengaruh oleh hal itu). "Kita tidak ingin menambah polusi suara tersebut, tapi lebih ingin berbuat sesuatu. Sekarang bukan waktunya untuk bersikap sinis. Lihat saja, pajak kita dulunya untuk membiayai perang dan sekarang digunakan untuk membiayai perusahaan-perusahaan besar -salah satunya milik Dick Cheney- dan makin tajamnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Hal-hal seperti itulah yang sangat menyakiti perasaan saya." Sambil tertawa, Vedder menambahkan. "Tapi hal itu juga membuat saya berasa awet muda."

Album baru Pearl Jam masih tetap melancarkan serangan-serangan atas pemerintahan Bush. Album tersebut juga merupakan perpaduan sebuah album rock n roll (yang menunjukkan akar classic rock dan gunge/punk mereka) dengan pandangan politik Vedder. "There is a sickness, a sickness coming over me/Like watching freedom being sucked straight out to sea." Vedder lebih banyak memberikan sebuah gambaran sosial daripada menyampaikan ide-idenya. Di dalam lagu Unemployable, Vedder menggambarkan seorang buruh yang tengah frustrasi karena baru saja dipecat, dan mempertanyakan di mana agama berada ketika orang seperti mereka ada di situasi seperti itu. "Musik, paling bagus ketika bisa menemukan tujuannya." ujar Vedder. "Di masa-masa sekarang, dimana semuanya serba formalitas dan kepalsuan, tujuan kita adalah 'Kita akan membuat seperti ini.' Dan sepertinya itu menjadi landasan yang bagus."

Pearl Jam selalu memiliki tujuan. Mulai dari perang melawan Ticketmaster di tahun 1994 -di mana gitaris Stone Gossard dan bassis Jeff Ament bersaksi di hadapan kongres menuntut penyelidikan antitrust atas Ticketmaster- sampai 2004 lalu selama tur Vote for Change. Pearl Jam dibentuk pada saat isu tentang perang teluk pertama tengah hangat di tahun 1991. Vedder, yang saat itu berumur 24 tahun tinggal di San Diego. Dia menerima demo dari Gossard, Ament dan juga gitaris Mike McCready. Vedder kemudian mengirimkan kembali demonya ke Gossard di Seattle setelah menambahkan vokalnya di dalam kaset tersebut. Seattle, saat itu, adalah suatu tempat di mana band-band underdog seperti Nirvana dan Soundgarden tengah sukses digaet oleh major label. "Ada semacam elemen kultural yang terjadi di Seattle, sebetulnya. Dan itu tidak ada hubungannya dengan label rekaman sama sekali," tukas drummer Matt Cameron, yang bergabung bersama Soundgarden sebelum masuk ke Pearl Jam di tahun 1998. "Itu adalah ground zero, di mana orang dari penjuru Amerika tiba-tiba datang dan berharap menjual berjuta-juta kopi. Hal itu adalah evolusi yang alamiah, dan saya pikir momen seperti itu belum pernah terjadi lagi."
Tapi scene tersebut juga terbukti berdampak negatif, berupa penggunaan heroin secara serampangan, dan etos yang diyakini benar oleh musisi-musisi Seattle: lebih baik mati mendadak daripada mati pelan-pelan (meski bukan etos yang familiar di dunia rock n roll, tetapi band-band asal Seattle sepertinya sangat memegang teguh keyakinan tersebut). Pearl Jam adalah salah satu diantara (sangat) sedikit band yang masih tetap berdiri saat ini. "Stone dan saya banyak melakukan kesalahan saat masih di band lama kami, Mother Love Bone," ujar Ament, "dan itu bisa disimpulkan ketika Andy [Wood, vokalis MLB] meninggal. Saat itu kita sudah dikontrak major label, dan mereka sudah mengeluarkan 300.000 dollar untuk biaya rekaman, serta keperluan promo. Setelah Andy meninggal, kita masih menyisakan hutang sebesar 40.000 dollar kepada label sementara kita sudah tidak lagi punya uang. Saya pikir, kalo misalnya nanti ada kesempatan untuk bikin band lagi, kita tidak bakalan melakukan kesalahan yang sama. Untungnya, album pertama Pearl Jam sukses, dan dengan demikian mereka (major label) bisa tetap memperbolehkan kita meneruskan langkah kita selanjutnya, secara bebas. Dari situlah konsep band kami terbentuk." Yang jelas, mereka sekarang menjadi seperti apa yang dikatakan Vedder: moderat. "Seperti: 'Maaf, kita terlalu populer.' 'Maaf, saya juga lebih suka Mudhoney dibanding dengan band kita sendiri'." Mereka mencoba berbagi "kesejahteraan" yang mereka dapat dengan mengalihkan pendengar mereka ke musik dari band/orang lain. Melakukan tur dengan beberapa band-band kecil lain, serta melakukan siaran radio sendiri.

Prinsip survival dan berbagi semacam itu kini bukan lagi menjadi permasalahan utama bagi band. Menghindarnya Pearl Jam dari gemerlapnya dunia industri musik, penolakan status rockstar, membuat album yang makin idealis serta peran Vedder dalam aktivitas politisnya justru makin membuat tebal fanatisme fans mereka -meski secara keseluruhan jumlah penggemar yang tidak fanatik bisa dibilang menurun; dan juga fakta bahwa angka penjualan album terakhir (Riot Act) hanya sepersepuluh dari penjualan Ten. Apakah Vedder risau dengan hal-hal seperti itu? Jawabnya: "Jika kita bisa survive dan tetap bermain musik, membuat album dan melakukan konser...serta menghidupi keluarga kita, membahagiakan komunitas kita (fans) dan juga teman-teman kita sendiri -di situlah tujuannya. Jika kita mampu mencapainya dalam keadaan industri musik seperti saat ini, itu akan jauh lebih baik. Mungkin bisa juga sebagai pertanda bahwa industri musik belum sepenuhnya "tercemar" oleh nilai-nilai komersialisme."

Dengan kata lain, semuanya bukan melulu tentang uang -meski pendapat Vedder tentang "surviving" sama dengan asumsi kita tentang uang yang banyak- dan juga belum tentu tentang politik. It's all about the music, dan hanya sedikit musisi yang mampu menerjemahkan konsep itu sebaik Vedder dengan idealisme transedental-nya tentang proses kreatif dan inspirasi bermusik. "Saya membayangkan ada semacam "sorotan" ketika sebuah muncul," ujarnya, "dan jika kita tidak sesegera mungkin menerjemahkan ide tersebut, mungkin (ide tersebut) akan berubah menjadi sesuatu yang bukan seperti bayangan kita semula. Apa yang mungkin bisa membuat ide tersebut jadi bagus, malah nantinya hilang. Dan mungkin juga masih bagus, tapi sekali "sorotan" itu mengenai otak kita -ya sudah. Kita harus melindunginya terlebih dahulu sebelum segala "sorotan" itu tiba."

Vedder juga berpendapat: "Bagi saya, menyelesaikan album ini adalah pencapaian yang sangat melegakan. Otak saya sudah seperti iPod, minus earphone -banyak ide dan musik di sana, yang menunggu untuk "disalurkan. Ketika rekaman selesai, rasanya (ide dan musik) sudah tersalurkan. Saya juga punya puteri berumur 21 bulan, dan tentunya saya tidak akan membiarkan dirinya tumbuh liar, dengan ayahnya yang seperti professor gila ini. Seromantis mungkin, saya pikir dia juga berhak yang terbaik dari saya." Pearl Jam yang dulunya bermasalah dengan persoalan seputar ketenaran dan uang, sekarang permasalahan mereka adalah banyaknya inspirasi yang harus disalurkan. Dan dengan seperti itupun mereka masih sangat bagus, jadi sungguh memalukan bagi kita yang berpendapat segala sesuatunya (dalam hidup) adalah serba-susah.

Tuesday, April 25, 2006

TIME's Controversial Article 1993

Sebuah artikel kontrovesial dari majalah TIME di tahun 1993 tentang musik alternatif. Artikel yang kemudian menuai banyak protes dan sampai sekarang menjadi salah satu cover story majalah terkenal tersebut yang dilarang di-publish ulang. Pandangannya memang banyak menempatkan subjek-subjek pelaku scene alternatif sebagai komoditas industri musik, berlawanan dengan etos kerja mereka sendiri yang puritan. Mungkin inilah satu-satunya scene musik yang bereaksi keras terhadap pemberitaan media massa yang mungkin untuk kalangan saat ini justru akan mendorong ke puncak popularitas. Bagaimana kontroversialnya, coba baca sendiri dari versi yang gw terjemahin ke bahasa Indonesia for your convinience. Dan nantinya bisa kita diskusikan bersama.

***

TIME, October 25, 1993 Issue p.60 (Cover Story)
Rock's Anxious Rebels
A young, vibrant alternative scene has turned music on its ear. But are the new stars too hot to be cool?

By Christopher John Farley
---
Inilah cerita tentang petugas pom bensin dan siswa DO dari SMA yang mampu menghasilkan lebih dari 50 juta dollar bagi perusahaan rekaman, serta menempatkannya di tengah-tengah kebisingan jagat rock n roll.
Hanya berselang tiga tahun lalu, Eddie Vedder (28 tahun) masih bekerja di shift malam sebuah pompa bensin di San Diego. Kadang juga mengatakan jika dirinya dulu bekerja sebagai satpam agar tampak lebih mengesankan. Tapi dia sudah tidak perlu kuatir lagi tentang hal-hal tersebut, di mana dirinya telah menjadi "dewa" bagi dunia rock lantaran posisinya sebagai penyanyi dan penulis lirik untuk band Pearl Jam. Album debut band-nya, Ten, telah menjual kurang lebih 6 juta kopi dan bercokol di Top30 chart album Billboard selama lebih dari 90 minggu setelah dirilis. Minggu ini, kuintet asal Seattle tersebut akan merilis album keduanya, bertitel Vs, yang diharapkan menjadi salah satu album dengan penjualan terbaik tahun ini.
Rock n Roll' Hall of Fame belum selesai dibangun di Cleveland, Ohio. Tapi jika sudah selesai, sebaiknya mereka mulai menyiapkan salah satu ruangannya untuk Vedder. Dia memiliki semua persyaratan sebagai rockstar. Apakah dirinya memiliki pengalaman tragis di masa lalu? Yap. Apakah dia memiliki selera yang edgy dan menarik secara sensual untuk dikupas, seperti halnya Jim Morrison? Tentu. Apakah dia menolak untuk terjerat stereotipikal seorang rockstar, yang tentunya akan membuat dia tampak sedikit lebih "asli"? Pasti. Apakah dia senang tampil sebagai cover majalah TIME? Tidak mungkin.
Vedder adalah produk dari mencuatnya dunia rock alternatif, sebuah genre musik yang menolak nilai-nilai komersial dari pop mainstream. Alternatif tidak memiliki definisi yang spesifik, tetapi bisa dirasakan. Musisi-musisinya rata-rata menolak hingar-bingar dunia showbiz. Mereka juga mendukung pergerakan-pergerakan sosial tertentu. Beberapa di antara mereka menolak untuk berpacaran dengan groupies atau model. Musik mereka biasanya berorientasi pada gitar, dengan beberapa sentuhan eksperimental. Liriknya juga lebih banyak bicara tentang perasaan-perasaan seperti: kekecewaan, tertekan dan kebingungan apabila dibandingkan dengan pendekatan musik pop yang lebih ke hal-hal percintaan. Rock alternatif adalah reaksi, terutama di antara generasi usia 20-an, setelah sekian lama dicekoki dengan hal-hal yang berhubungan dengan perubahan warna rambut Madonna atau liputan MTV tentang bokong George Michael.
Rock alternatif sendiri telah muncul selama beberapa tahun sebelum masa ini, dan selama itu tengah menunggu giliran untuk mencuat ke permukaan. Band asal Georgia, REM adalah pionir musik alternatif di pertengahan dekade 80-an yang naik ke mainstream bahkan sebelum Pearl Jam terbentuk. Tetapi kondisi sekarang adalah band-band rock alternatif tengah memenuhi tangga-tangga lagu, mulai dari kuartet arty-rock Smashing Pumpkins sampai ke yang berbau folk macam Soul Asylum. Program MTV's Alternative Nation dan tur festival Lollapalooza, yang menampilkan band-band baru tersebut, menjadi ajang yang sangat populer pada waktu itu.
Dan di situlah letak kontroversinya: msuik alternatif sekarang menjadi kekuatan paling besar dari dunia musik mainstream. Hal itu memicu krisis identitas dan kerancuan antara musisi-musisi dan juga penggemarnya. Para penggemar akan terus berpikir jika para musisi-musisi tersebut sekarang menjadi seorang rockstar, bukankah berarti mereka menjadi objek yang kita benci sebelumnya? Dan dari hal itu, tidak ada yang lebih baik untuk diangkat menjadi cermin kasus pergulatan idealisme musik alternatif tersebut daripada kisah sukses Pearl Jam. Band yang digandrungi banyak orang, tetapi kurang disukai kalangan musisi sendiri karena memandang Pearl Jam sebagai band yang komersil dan oportunis, memanfaatkan ketenaran sesama band Seattle lain, Nirvana. Frontman Nirvana, Kurt Cobain menyebut band seperti Pearl Jam sebagai band yang nebeng popularitas musik alternatif. Cobain dan band-nya baru saja merilis album baru, In Utero, yang bisa dibilang sukses (tiga minggu setelah dirilis, album tersebut bertengger di peringkat 3 tangga lagu Billboard).
Vedder, yang sebelumnya telah banyak mengungkapkan tentang konflik batinnya, seakan ditahbiskan dari apa yang dulunya "pecundang" kini menjadi idola. "Tiap kali ada kesuksesan yang datang secepat kilat, seperti sukses band kami, tentu akan memicu keresahan-keresahan di dalam diri kita," ujar Vedder pada koran Inggris Melody Maker. "Saya mengalami banyak kesulitan untuk mengenali diri saya. Saya berkata sejujurnya: bahwa ketika saya melihat gambar dari band atau gambar saya di sebuah halaman majalah, saya sangat membenci orang (yang ada di halaman) itu."
Untuk menjaga tradisi musik rock, alternatif telah berkata dengan jelas bahwa kuncinya adalah dengan memberontak. Musisi dan juga penggemarnya rata-rata akan berpendapat bahwa hidup itu tidak adil, dan hal itu telah tertanam sejak usia mereka masih rawan untuk menerima kenyataan hidup. Musik alternatif adalah suara dari broken-home. Jika kita adalah remaja atau berusia 20-an, kemungkinan orang tua kita sudah bercerai. Musik alternatif lantas menjadi soundtrack emosional bagi kondisi tersebut, dan mengungkapkan secara tegas tentang isu "ke-terlantar-an" dan ketidakadilan yang pelik. "I tried to have a father/But instead I had a dad," demikian yang dinyanyikan Kurt Cobain dalam In Utero. Salah satu lagu paling terkenal dari Pearl Jam, Jeremy, adalah lagu tentang seorang anak kecil yang menembak dirinya sendiri di dalam kelasnya: "Daddy didn't give attention/To the fact that Mommy didn't care." Kepekaan Pearl Jam untuk mengungkapkan "kemarahan" tersebut menyejajarkan mereka dengan band seperti The Who atau U2.
Akankah mereka bisa melalui tahap "hype" ini? Sementara Pearl Jam, Nirvana dan yang lainnya tengah berjuang untuk menyampaikan ekspresinya, para pengamat tren juga tengah mengamati mereka selama dua tahun belakangan. Para pengamat tren tersebut lebih tertarik untuk mengulas bagaimana cara mereka berpakaian dan scene Seattle tempat mereka berasal. Gaya berpakaian mereka yang kemudian dikenal nama gaya Grungy dicirikan oleh kemeja flanel dan jaket Corduroy yang agak lusuh dan robek-robek. Pada salah satu sesi foto, majalah Vanity Fair bahkan mendandani kaum elit dan selebritis Manhattan dengan flanel dan jeans. Eksploitasi seperti inilah yang membuat risih generasi muda Amerika terhadap kata "grunge". Tetapi band seperti Pearl Jam telah memberikan perlawanan terhadap eksploitasi semacam itu, dengan lebih menekankan apresiasi terhadap musik mereka ketimbang gaya berpakian mereka.
Dalam kerangka pengaruh, musisi-musisi alternatif diilhami oleh gerakan-gerakan di dalam sejarah rock. Dekade 60-an memunculkan semangat protes sosial dan kebebasan berekspresi. Sementara di kahir dekade 70-an memunculkan semangat do-it-yourself (d.i.y) dari kultur punk termasuk di dalamnya slam-dancing dan stage-diving yang diangkat kembali oleh musik alternatif. "Kita meniru segalanya kok," ujar Shannon Hoon, lead singer Blind Melon, yang telah menjual lebih dari satu juta kopi dari album debutnya tahun ini. Trik-nya adalah meniru riff-riff dari musisi yang telah lama dan akan terdengar baru bagi khasanah musik modern. Bahkan band teatrikal Kiss, yang anggotanya memakai make-up di panggung, termasuk salah satu pengaruh bagi beberapa musisi-musisi alternatif saat ini. "Saya sangat suka dengan God of Thunder, Gene Simmons (bassist Kiss, ed)," kata Kat Bjelland, lead singer dari grup punk cewek Babes in Toyland. "Mereka berpengaruh karena mereka sangat orisinil, dan juga sangat evil!"
Rocker alternatif akan berhati-hati untuk menyatakan mengambil referensi dari musisi lain karena secara orisinal, sound yang mereka hasilkan (secara independen) lebih bisa dibanggakan sebagai representasi d.i.y meski jauh dari standar perusahaan rekaman. "Saya tidak suka dilabeli," tukas rocker alternatif Juliana Hatfield, seorang cewek manis dengan suara yang girlish dan gitar yang menyalak. "Tapi jika kalian ingin melabeli saya pada kategori tersebut (alternatif) juga ngga apa, soalnya dimasukkan ke label alternatif berarti ada sedikit respek untuk musik saya. Itu berarti kita telah melakukan sesuatu sesuai dengan kemauan kita, etos kerja d.i.y."

Vedder Listened to the Tape, Then He Went Surfing. Lyrics Came to Him.

Pergerakan alternatif dipengaruhi oleh inisiatif beberapa label indie yang menjamur di era 80an, ketika major label hanya fokus kepada musisi seperti Bruce Sringsteen dan Madonna. Label Sub Pop di Seattle juga berdiri di masa ini, 1986, untuk menangkan esensi pergerakan musik alternatif, kemudian memasarkannya dan siap untuk mengentaskan musik alternatif ke jenjang yang lebih tinggi. Pendiri Sub Pop, Jonathan Poneman dan Bruce Pavitt menggambarkan label mereka sebagai Motown dalam skala kecil untuk kawasan Northwest. "Permasalahan industri musik di tahun 80-an adalah ketika major label tidak banyak memberi kesempatan kepada ide-ide bermusik yang termasuk baru," kata Pavitt, yang sebelumnya bekerja untuk perusahaan musik Muzak.
Sub Pop memliki "telinga" yang jeli. Mereka memproduksi beberapa band yang sukses secara nasional pada album pertama mereka: Nirvana, Smashing Pumpkins, Soundgarden dan Alice in Chains. Tidak lama kemudian, band-band tersebut menjadi terkenal, dan berpindah ke major label. Major label menjadikan label-label indie sebagai pemasok mereka, setelah salah satu band terbaik Sub Pop: Nirvana beralih dari label tersebut ke Geffen pasca terjualnya Nevermind sejumlah 4 juta kopi. Band-band yang biasanya bermain di klub kecil tiba-tiba ditawari kontrak senilai 300.000 dollar. Fenomena ini juga ditengarai dengan menurunnya musik mainstream saat itu yang tentu membuka kesempatan bagi musisi alternatif untuk menarik perhatian label mainstream.
Pearl Jam, secara kebetulan, terbentuk dari sisa-sisa band Sub Pop yang bernama Green River. Legenda rock yang pecah gara-gara perbedaan konsep bermusik. Bassis Jeff Ament dan gitaris Stone Gossard keluar dari band gara-gara berbeda pendapat dengan lead vocalist mereka yang tetap ingin bereksperimen sebagai jiwa sejati musik alternatif. Sementara, Ament dan Gossard ingin mengejar ambisi menjadi rockstar. Band bentukan Ament dan Gossard selanjutnya, Mother Love Bone, menggabungkan sound heavy metal dengan nada easy-listening. Ketika band ini mulai berkembang ke popularitas mainstream di tahun 1990, lead singer-nya meninggal karena overdosis heroin.
Kemudian masuk Eddie Vedder, yang saat itu tinggal di San Diego, menjadi frontman dari band yang bernama unik -entah rekayasanya atau tidak- Bad Radio. Seorang rekannya memberikan kaset yang dilabeli "DEMO STONE GOSSARD '91", dan mengatakan kepada Vedder bahwa gitaris band dalam kaset itu tengah mencari penyanyi. Vedder mendengarkan kaset tersebut, kemudian pergi surfing dan mendapatkan inspirasi lirik di tengah-tengah surfing. "Son she said/Have I got a little story for you." Vedder segera kembali ke apartemennya, dan menulis tiga buah lagu serta menyanyikannya langsung dengan musik dari kaset demo Gossard. Dia kemudian mengirim rekaman tersebut ke Seattle. Bassis Jeff Ament mendengarkan dengan seksama, dan terkesan dengan suara growl musisi asal California tersebut. Dia mengungkapkan di Rolling Stone, bahwa dia sempat memutar rekaman tersebut tiga kali sebelum kemudian menelpon, "Stone," ujar Ament di telepon, "sebaiknya kamu ke sini sekarang."
Salah satu dari lagu-lagu tersebut nantinya akan menjadi Alive, lagu Pearl Jam paling hit. Lagunya bercerita tentang seorang ibu yang mengabarkan sebuah berita buruk bagi anaknya: "While you were sitting home alone at age thirteen/Your real daddy was dying." Emosi dari lagu Alive tersebut berasal dari kisah hidup Vedder sendiri. Vedder lahir di Chicago, sulung dari empat bersaudara. Rekaman pertama yang disukainya adalah rekaman-rekamana Motown, beberapa lagu dari Michael Jackson waktu masih muda. Kemudian beralih ke lagu-lagu Neil Young, dan berlanjut ke Quadrophenia dari the Who. Album Quadrophenia tersebut disebutnya sebagai sebuah cerminan dari trauma para remaja. Vedder tidak pernah mengenal ayah kandungnya. Dia dibesarkan oleh pria yang disangkanya sebagai ayah kandungnya, dan sering berselisih paham dengannya. Seiring dengan waktu, ibunya memberi tahu Vedder tentang fakta ayah kandungnya. Vedder kemudian pindah ke San Diego, dan ayah kandungnya diketahui kemudian hari bahwa dia meninggal karena komplikasi kanker sclerosis.
Vedder kemudian datang ke Seattle, menyusul rekaman yang dia berikan sebelumnya, di mana gitaris Mike McCready dan drummer Dave Krusen telah bergabung dalam lineup band (Krusen kemudian digantikan Dave Abruzzese). Band tersebut kemudian bergabung dengan major label kepunyaan Sony: Epic Records. Tetapi ketika album pertama tersebut rilis, di tahun 1991, personel Pearl Jam tengah berada di antara hiruk pikuk hype band-band dari Seattle. Nirvana terlebih dahulu melejit dengan lagu anthem mereka, Smells Like Teen Spirit. Ketika Pearl Jam kemudian menarik perhatian sebagai band besar dari Seattle setelah Nirvana, Kurt Cobain seolah keberatan untuk berbagi "sorotan" tersebut, dengan mengatakan Pearl Jam sebagai rockers yang kuno dan plagiat.
"Semua seolah ingin menjelek-jelekkan, hanya karena Pearl Jam sangat sukses waktu itu," ujar Eddie Roeser, lead singer band asal Chicago Urge Overkill. "Mereka (Pearl Jam) hanya ingin mencoba membuat musik yang jujur - bukan salah mereka dong, kalo lantas sukses secara komersial."
Ketenaran Pearl Jam dibangun dari lagu-lagu hits mereka semacam Alive, Even Flow dan Jeremy. Tetapi apa yang sebenarnya menempatkan mereka di jajaran papan atas adalah performa live mereka yang didominasi power vokal dan atraksi di atas panggung yang mempesona dari Eddie Vedder. Aksinya seolah mengingatkan kepada binatang liar yang lepas dari kandangnya. Di tahun-tahun pertama, dia sangat suka berbaur dengan penonton, crowd surfing di atas tangan penonton. Vedder juga pernah memanjat rangka panggung, dan bergelantungan di ketinggian yang ekstrim. Setelah itu dia masih sanggup berdiri di panggung memegang mik, mulai mengeluarkan emosinya bersama dengan lagu yang dinyanyikannya. "Saya sebetulnya agak males menonton gayanya (Vedder) menyanyi sambil bersedakap," tukas Kim Thayil dari Soundgarden ketika ditanya tentang pertama kali melihat Vedder menyanyi di sebuah klub di Seattle. "Tapi lagu yang dinyanyikan Eddie bisa sampai menggetarkan bulu kuduk." Pearl Jam menegaskan reputasinya sebagai band besar pada Agustus(1993) lalu di gelaran MTV Video Music Awards, di mana band tersebut sanggup menyabet empat penghargaan dari nominasi di lima kategori, termasuk "Best Video of the Year" untuk Jeremy, serta tampil bersama Neil Young untuk menyanyikan versi dahsyat dari lagi Neil Young, Rockin in the Free World.
Album baru Pearl Jam, yang penuh dengan konfrontasi buas, bertitel Five Against One sebelum akhirnya diganti pada saat-saat akhir dengan titel Vs (hasilnya, beberapa cetakan pertama masih menggunakan titel lama). Album baru tersebut menggabungkan perspektif dan kritik politis dengan pemberontakan ala-punk. Musiknya terdiri dari lapisan-lapisan gitar dan perkusi. Sementara nada-nya banyak menggunakan power heavy metal tetapi masih melodis untuk dinikmati sebagai karya pop yang prima. Beberapa lagu didalamnya bercerita tentang kritik tajam untuk budaya masyarakat patriarki. Glorified G misalnya, menyerang perilaku masyarakat rural dengan budaya senjata-nya: "Got a gun/Fact I got two/That's okay man, 'cause I love God." Lagu W.M.A juga merupakan kritik terhadap kasus kejahatan rasial yang populer waktu itu, ketika seorang berkulit hitam bernama Malice Green dipukuli sampai mati dengan senter oleh sekelompok oknum dari kepolisian Detroit. "White Male American/Do no wrong," demikian lantunan lagunya. "Dirty his hands it comes right off."
Ironisnya, inisial W.M.A tersebut juga bisa dilabelkan untuk golongan masyarakat yang membeli album-album Pearl Jam. Malah, itu juga bisa dilabelkan untuk band-nya sendiri, dan juga sebagian besar pelaku scene rock alternatif, meski musisi perempuan juga mulai bermunculan. Di liner note album kompilasi Nirvana, Incesticide, lead singer Kurt Cobain menuliskan, "Jika di antara kalian ada yang benci dengan homoseksual, orang-orang dengan warna kulit yang berbeda, atau kepada wanita, tolong lakukan hal ini - leave us the f___ alone!" Dan Scott Weiland, penyanyi berambut pirang untuk band Stone Temple Pilots - band pendatang baru yang "mirip" grunge yang mempunyai sebuah lagu anti-pemerkosaan berjudul Sex Type Thing - mengaku merasa terganggu ketika melihat sekelompok pemuda golongan menegah ke atas yang keren di konsernya, seperti halnya kelompok anak muda yang sering memukulinya di masa SMA dulu.
Musisi alternatif kebanyakan rendah hati, berbeda dengan musisi-musisi "white-male-rock" di dekade sebelumnya. Mereka (musisi alternatif) cenderung berprinsip anti-sexist, pro-tolerance dan pro-underdog, baik itu untuk hak-hak manusia atau lingkungan. Demikian juga dengan musisi alternatif dari kalangan perempuan. Ketika Liz Phair, seorang penyanyi intelektual berumur 26 tahun dari Chicago, menyanyikan lagu-lagu eksplisit dari album debut Exile from Guyville di hadapan orang tuanya, dia terkejut dengan reaksi keduanya. "Pertama kali ibu saya mendengarkannya, dia menangis," kata Phair. "Bukan karena dia shock, tapi lebih karena dia mendengarkan sesuatu yang sangat menghibur dari puteri-nya."
Banyak musisi-musisi alternatif yang mencoba melebarkan pangsa demografisnya dengan membuka musik mereka untuk lebih inklusif. Roadshow tahunan bertajuk Lollapalooza yang sangat membantu musisi lokal ke kancah nasional, mulai menampilkan aksi dari musik rap seperti Arrested Development atau Ice Cube. "Banyak anak-anak kulit putih yang enggan datang ke show anak-anak kulit hitam," ujar Ted Gardener, produser Lollapalooza. "Mereka akan membeli albumnya, tapi nggak akan nonton band-nya. Mereka takut kalau terjadi apa-apa yang bisa membahayakan nyawanya. Dan beberapa anak-anak kulit hitam juga merasakan hal yang sama tentang show anak-anak kulit putih. Kita sedang mengusahakan untuk membuat suatu genre musik baru yang memadukan keduanya." Soundtrack dari film Judgement Night menampilkan kolaborasi rapper Sir-Mix-A-Lot dengan band alternatif Mudhoney. "Alternatif dan rap tumbuh karena hal yang sama," kata Sir-Mix-A-Lot. "Kita sama-sama melakukan pertama kali di basement dan terus tumbuh keluar sampai menarik perhatian major label."
Meski demikian, akan selalu ada tuduhan hipokrit terhadap gerakan-gerakan yang menyanjung tinggi kemurnian dan anti-komersialisme. Terutama jika sudah menyangkut banyak uang. Pergerakan musik alternatif juga demikian, dengan mulai mengalami pergeseran dari ide-ide semula yang melandasinya: semangat anti-kemapanan, dan semangat membuat musik untuk menyalurkan ekspresi jiwanya. "Mereka sangat menarik bagi kami, karena dunia tempat generasi kami bisa dibilang sudah mati. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan harapan selepas sekolah nantinya," kata Bonnie O' Shea, pelajar dan sekaligus DJ di sebuah Universitas Negeri Oneonta, New York. Tetapi ketika 5 juta orang membeli sebuah album, itu sudah menjadi seperti barang reject. Beberapa di antara mereka mungkin menjadi fans Rush Limbaugh, hanya karena suka dengan beat-nya. "Saya pikir fans-fans baru (musik alternatif) itu ngga pada ngerti apa yang mereka dengerin," lanjut O'Shea. "Saya harap ini cuman sebentar, soalnya saya pengen musik favorit saya itu kembali."
Memangnya ini musik siapa? Orang biasanya akan mencari tahu apa yang disuka oleh anak-anak, menggandakannya (atau membuat replikanya) dan kemudian menjualnya lagi kepada mereka. Apakah anak-anak suka rap? Mari kita beri Vanilla Ice! Biasanya produk hasil replika yang berorientasi pada anak muda menjadi terlalu "jelas meniru" produk aslinya. Cocok memang. Tapi begitu anak muda beranjak dewasa, dia akan segera tahu mana yang asli dan mana produk replika. Begitu pula dengan musik alternatif. Segera muncul perdebatan tentang mana yang asli dan mana yang replika. Seperti percakapan berikut yang diambil dari serial animasi MTV, Beavis and Butt-head.

Beavis (sambil melihat video Plush dari Stone Temple Pilots): Apakah ini Pearl Jam?
Butt-head: Wajahnya didandanin mirip Eddie Vedder.
Beavis: Nggak, Eddie Vedder yang dandan mirip dia.
Butt-head: Band ini keluar duluan kok, dan Pearl Jam niru mereka.
Beavis: Ngga. Pearl Jam duluan.
Butt-head: Well, they both suck.

Orang-orang di komunitas indie mulai khawatir jika pergerakan musik alternatif akan ditunggangi oleh mainstream. "Salah satu yang saya pikir sangat berpengaruh negatif terhadap etos underground," ujar Bill Wyman, kolumnis koran alternatif di Chicago, "adalah pudarnya semangat yang dulu ada di 'scene lokal kita', tempat dimana kita bisa bermain dengan bebas, ngga ingin punya banyak fans, ngga ingin dikontrak major label dan ngga keren kalo populer atau mempublikasikan band kita."
Kurt Cobain dari Nirvana pernah menulis sebuah lagu berjudul School yang memberi perspektif konyolnya scene alternatif. "You're in high school again! No recess!" Seperti halnya di sekolah, beberapa gaya yang dikategorikan sebagai "keren". Di kancah musik alternatif apa yang tidak sesuai kemudian dicemooh. Tahun ini pula, band yang banyak dipuji, Smashing Pumpkins mengeluarkan singel berjudul Cherub Rock, sebuah kritik tajam terhadap dogmatisme musik alternatif: "Stay cool/And be somebody's fool this year."
"Banyak parameter yang menungkapkan bahwa orientasi komunitas musik alternatif adalah mengkritik masyarakat," tandas Billy Corgan, vokalis Smashing Pumpkins. "Dan juga, itu kaya kembali ke masa SMA...'gue ngga suka baju lo'. Hal-hal seperti itulah yang menjadi stigma musik alternatif."
Bila band-band alternatif terus membanjiri kancah musik mainstream, maka mungkin kata "alternatif" itu sendiri sudah tidak tepat lagi. Seperti halnya "progressive rock" yang sudah tidak layak lagi digunakan selepas dekade 80-an. "Alternatif" telah menjadi alat marketing. "Lima menit yang lalu, saya melihat sebuah iklan Bud Dry: 'Bir Alternatif dengan rasa alternatif,'" ujar Jim Pitt, yang membuking tampil di program NBC: Late Night with Conan O'Brien. "Nggak lama lagi, kalian akan menemukan sebuah iklan dimana ada gambar orang moshing, 'Keluarlah dari mosh pit dan minumlah Buick.' Itu udah jadi daur-budaya masyarakat Amerika. Semuanya akan dieksploitasi."
Pearl Jam sekarang ada di dalam masa percobaan, dipaksa untuk membuktikan bahwa sukses mereka tidak merusak esensi mereka. Band dan label rekaman mereka segera merespon dengan membatasi kegiatan promosi, dan bahkan tidak membuat satupun video promo. Beberapa kritikus mengungkapkan bahwa anggota Pearl Jam tidak bisa menangani kesuksesan dengan baik. "Gue denger Eddie Vedder komplain tentang MTV. Kaya dia diiket aja waktu bikin video Jeremy atau dipaksa teken kontrak ke major label," gerutu VJ Alternative Nation yang bernama Kennedy. Dia menambahkan: "Jangan gigit tangan yang memberimu makan, dan jika kamu ngga laper, menjauhlah dari dapur."
Meski demikian, dalam beberapa hal, Vedder menunjukkan keseimbangan dari seorang surfer sejati. Dampak paling drastis dari dirinya hanyalah dia sekarang menenggak sebotol anggur ketika pentas. Dia masih bersama pacar yang sama sejak 9 tahun yang lalu, Beth Liebling. Bahkan perseteruan dengan Nirvana juga telah mereda. "Semua udah beres sekarang, hubungan kita baik-baik saja," ujar Vedder kepada Melody Maker.
Di album pertamanya, Eddie Vedder menulis lagu berjudul Release, yang liriknya mungkin berdasarkan pengalaman paling pahit dalam kehidupan Vedder. Bahkan terlalu pahit utuk ditulis di sleeve CD-nya. Liriknya menangkap esensi emosinya di masa lalu, dengan segala luka dan kontroversinya untuk berjalan menyambut masa kini dan masa depannya. "I'll ride the wave/ Where it takes me," nyanyi Vedder tentang ayah kandungnya yang meninggal. Menyampaikan statement bahwa meski dia adalah pribadi yang sama sekali berbeda, tetapi tidak mungkin melepaskan dari ikatan mereka orang tua dan anak dan sifat yang mungkin diwarisi ari ayahnya. "I'll hold the pain/ Release me." Itu adalah sikap yang sangat dewasa di dalam genre musik yang dikendalikan oleh nafsu-nafsu anak SMA. Jika dia tetap memelihara sikap seperti itu, maka dropout-an sekolah yang kini menjadi rockstar tersebut siap menjadi ketua kelas. -With reporting by Patrick E. Cole/Los Angeles and Lisa McLaughlin/New York.