Thursday, December 29, 2005

Paradoks Sejarah di (Bagian) Sejarah Rock

Tulisan ini adalah terjemahan gw atas artikel yang ada di majalah Spin (online), tentang hubungan antara artikel yang diterbitkan majalah terebut 11 tahun silam (Januari 1995) dengan realita yang terjadi pada saat ini. Gw memilih artikel ini karena menarik sekali, bagaimana sebuah pilihan untuk "mati" bisa menjadi strategi kita hidup. Tentu tidak seprofan itu pembahasannya, tetapi dalam hubungannya dengan ketenaran dan kejayaan, dunia rock (bisa) menjadi sebuah laboratorium hidup untuk diobservasi. Kebetulan, apa yang diangkat oleh Spin kali ini menyangkut dua band favorit gw, Pearl Jam dan Oasis. Here we go:

Ethically Pure Grunge and Cokehead Britpop
Prove that History is Bunk Half the Time

by Chuck Klosterman

December 23, 2005


Bagaimanapun ahli sejarah menganalisa apa yang terjadi di masa lalu, biasanya mereka cenderung memprediksi kelanjutannya (hanya) dalam dua kondisi: bahwa semua akan berbeda sama sekali, atau semua masih tetap sama. Masalahnya, kedua kondisi tersebut bisa saja terjadi pada saat yang sama. Sebelas tahun yang lalu, kolumnis gosip Village Voice di majalah Spin, Michael Mustro, menulis artikel yang terinspirasi oleh karakter dari film The Breakfast Club. Setelah lebih dari sepuluh tahun, paradoks kesejarahan tersebut membuktikan bahwa ada kondisi yang tidak berubah dan ada juga kondisi yang berubah sama sekali.

Saya tidak yakin jika artikel (cover-story) tentang Pearl Jam saat itu (Pearl Jam terpilih menjadi Best Band, tahun 1995 yang dipilih oleh pembaca Spin) atau review konser Oasis (yang bermain di klub-klub pada tur Definitely Maybe) merupakan sebuah refleksi paradoks kesejarahan tersebut, tentang bagaimana musik rock akan berubah selama satu dekade selanjutnya. Atau (hanya) merupakan sebuah kisah klise tentang budaya yang melintasi ruang waktu? Apa yang menarik dari kedua artikel tersebut adalah bukti dari prediksi apa yang akan terjadi ke depan (satunya tersamar, dan satunya lagi cenderung jelas). Dan bisa dikatakan bahwa keduanya akurat. Alasan bahwa hal ini menjadi menarik adalah fakta bahwa masa depan itu cenderung mudah diprediksi tetapi biasanya malah (kadang) menjadi sama sekali berbeda.

Artikel tentang Pearl Jam merupakan interview dengan Eddie Vedder yang merefleksikan keengganannya menerima hasil polling majalah Spin yang menempatkan Pearl Jam sebagai band terbaik tahun 1995. “Gue setuju banget sama pendapat itu,” ujar Vedder ketika reporter menyebut bahwa Pearl Jam juga terpilih sebagai band yang paling overrated. “Gue ngga bakalan mampu bikin band gue menjadi band yang terbaik, tapi gue pasti udah bikin band gue jadi band paling overrated.” Vedder kemudian juga menyayangkan bahwa Mudhoney justru tidak pernah merasakan sukses platinum (tentunya menjadi ironis mengingat Eddie dengan jelas menyatakan bahwa ketenaran-lah yang merusak hidupnya, jadi saya tidak begitu paham kenapa dia malah ingin Mark Arm merasakan hal yang serupa dengannya, whatever). Dalam prediksi yang tersirat, Pearl Jam mungkin (sedang) merencanakan untuk menjadi lebih kecil, dan lebih less-important, dimana ternyata mereka benar-benar melakukannya. Luar biasa!

Saya tidak yakin kalo ada band besar yang bisa mengatur kadar kesuksesan mereka secerdas Pearl Jam – mungkin U2 atau Rolling Stones, tapi mereka tetap dalam kapasitas untuk mempertahankan status stardom mereka, bukan menurunkannya. Pearl Jam sebetulnya merencanakan semacam kurva parabola dari keberadaan mereka di industri musik. Saya kadang bingung dengan orang-orang yang membenci Pearl Jam. Saya juga tidak paham kenapa orang-orang cenderung membenci grup yang pernah merasakan menjadi band terbesar di dunia dan kemudian meneruskan karirnya untuk menjadi tidak sebesar itu. Cukup dengan menjadi band rata-rata. Pearl Jam hanya membuat satu lagu yang bagus (“Corduroy”), tetapi mereka juga mempunyai 19an lagu yang “hanya” sedikit lebih baik daripada lagu berkualitas so-so. Sebetulnya mereka bisa saja membuat tiga album lagi yang merupakan replika dari Ten, lantas menghabiskan sisa karir mereka dengan bersantai, memakan lobster dan berenang di kolam emas. Tapi mereka tidak melakukannya. Mereka tidak melakukannya karena mereka berpikir bahwa hal itu akan menjadikan mereka tidak disukai. You see, nice guys do not finish last, tapi nice guys finish in the middle.

Hal itu membawa kita ke Oasis, sebuah band yang berhasil melampaui kadar medioker mereka dan menjadi megalomania. Oasis adalah gambaran anti-Pearl Jam. Mereka tidak bersikap baik kepada semua orang, termasuk kepada mereka sendiri. “Itu karena Oasis dipenuhi dengan macam-macam ketegangan yang tumbuh dari hubungan aneh Gallagher bersaudara ,” tulis Jonathan Bernstein,“ yang patut dipertanyakan apakah band tersebut bakal berkembang?” Oasis (ternyata) benar-benar berkembang; mereka berkembang menjadi keras kepala, dan semakin susah untuk membawa mereka semakin serius. Tapi akan lebih susah untuk mendebat karya musikal mereka; dimana ketika Pearl Jam hanya membuat satu lagu yang benar-benar bagus, Noel Gallagher paling tidak membuat tiga lagu yang bagus di Definitley Maybe. Dan dia terus membuat karya yang bagus. “Acquiesce” sangat hebat hampir tiga kali lebih bagus dari lagu-lagu terbaik Definitely Maybe, sementara “Don’t Look Back in Anger” lebih bagus sebelas kalinya. Semua orang mungkin berpikir jika Be Here Now kurang rapi, tapi album tersebut tetap saja jauh lebih keren dibanding semua album yang dikeluarkan Blur. Bahkan Oasis menghasilkan dua dari tiga album Britpop paling menonjol yang dirilis sepanjang dekade 90-an. Jadi di sini kita bertanya-tanya: Siapa yang lebih baik? Pearl Jam yang sukses mengubah diri menjadi band medioker, sesuai dengan keinginan mereka sendiri, atau Oasis yang “kebetulan” menjadi rockstar? Baik Eddie atau Noel sama-sama mengagumi Neil Young, sosok yang juga ditanya dengan pertanyaan serupa di tahun 1979: pilih mana, antara menghilang tiba-tiba atau berangsur menghilang? Segalanya berubah.

Dan ada (pula) yang tidak berubah.

Tuesday, December 20, 2005

Vitalogy - A Monumental Experimentation

Album "Ten" sebagai debut album Pearl Jam telah menandai klasifikasi band tersebut ke dalam jajaran industri musik. Secara stereotip, biasanya perjalanan sebuah band setelah kesuksesan album pertama adalah membuat karya yang ngga jauh beda dari album sukses mereka untuk menjaga stabilitas. Tidak sedikit juga yang kemudian sedikit masuk kompromi-kompromi evaluatif agar lagunya lebih diterima pasar. Pada akhirnya jamak juga pendapat: "...more like the old stuff".

Agar tidak "terjebak" dalam stereotipikal kreatif seperti di atas, Pearl Jam secara revolusioner mengubah "jenis" musik mereka secara eksperimentatif dalam album kedua "VS". Hampir 180 derajat, VS jauh lebih dekat ke apa yang dikenal dengan dentifikasi musik grunge. Distorsi yang "diumbar" dan juga absennya kord yang terlalu "shaped" sepeti halnya album pertama. Secara komersial, apa yang dihasilkan Pearl Jam dalam album VS itu justru merupakan penurunan. Pearl Jam tengah berevolusi secara eksperimentatif untuk mulai mencari sound mereka sendiri. Kemunculan lagu-lagu seperti Rats, WMA, atau Indifference menjadi tonggak eksplorasi yang dilakukan Stone Gossard dan kawan-kawan, meski masih menyisakan nomer-nomer familiar dalam Animal, Go dan Rearviewmirror. Secara berkelanjutan, "Vitalogy" yang merupakan album ketiga - dirilis dalam selang waktu 1 tahun dari VS - menampilkan adonan yang kurang lebih serupa dengan "VS". Eksplorasi dan eksperimentasi. Bedanya, dalam Vitalogy, kemasan eksperimentasi dibungkus dalam konsep album yang lebih rapat. Jadi ketika ada komplain standar dari fans tentang band-nya: "...like the old stuff is better and harder or so!", this is Pearl Jam!



Vitalogy lebih kurang seperti dibagi menjadi dua repertoar berdasarkan tempo track-per-track. Pada (semacam) repertoar pertama Pearl Jam mengawali dengan "Last Exit", sebuah lagu upbeat yang dilanjutkan dengan "Spin the Black Circle", semi-hardcore-ish menandakan kontinuitas dengan agresifitas album sebelumnya. Lagu-lagu selanjutnya cenderung menurunkan tempo, sampai pada bab di mana "Nothingman" menutup rangkaian repertoar awal. Repertoar kedua bisa dimulai dengan "Whipping" yang lanjut ke "Corduroy" (diselingi "Pry To", sebuah nomor eksperimental). Dan segera diikuti oleh deretan tracks yang menurun tempo-nya, ditutup oleh format ballad "Immortality" (lagi-lagi dengan menyelipkan nomor-nomor eksperimental). Di album ini Pearl Jam memang terkesan untuk membuat satu "perjalanan" apresiatif dari mendengarkan Vitalogy secara utuh. "Bugs" bahkan, yang hanya bermodalkan akordion, bisa membuat kita memahami betapa annoying-nya sebuah bunyi-bunyian repetitif yang tidak berirama (sesuai dengan pesan lagu). Secara musikal, mereka jauh lebih mature untuk tidak bermasturbasi dengan solo-solo bluesy Mike McCready yang panjang, tetapi menghasilkan harmony seperti halnya yang dilakukan Brian May dari Queen dengan banyak menahan ego-nya. Lagu "Not For You" misalnya, yang menampilkan salah satu solo-melodi gitar terbaik dari Pearl Jam dengan durasi relatif mini. Atau dengan pendekatan ritem-ritem "punk" (trikord) yang "beautifully crafted" dan lebih mature ketimbang dari album VS, seperti di "Tremor Christ" atau "Satan's Bed".

Secara tema, kematian Kurt Cobain mendapat tempat tersendiri pada lagu "Immortality" yang secara implisit memberi makna kematian Cobain dalam posisi sebagai korban. Album Vitalogy juga memberi tempat perlawanan Pearl Jam terhadap media dan industri musik secara umum. Penolakan terhadap fame yang ditulis Eddie Vedder lewat Corduroy menggambarkan angst secara sempurna. Kemudian sikap anti-kompromis yang tertuang dalam Not For You juga memberikan gambaran "pemberontakan" yang melegendakan saga Pearl Jam versus industri musik. Ditambah kasus TicketMaster sebagai unsur ekstrinsik album ini, Vitalogy bisa berperan sempurna sebagai monumen perjalanan bermusik Pearl Jam yang masih tetap eksis sampai jelang 15 tahun sejak rilis album perdana "Ten". Vitalogy juga bisa menjadi landmark terakhir peninggalan "grunge legacy" yang diasosiasikan dengan kematian Kurt Cobain. Entah kebetulan atau tidak, di album selanjutnya, "No Code", Pearl Jam jauh lebih eksperimentatif melepaskan dari grunge-ish, untuk kemudian menemukan musik Pearl Jam sejati dalam album "Yield" yang dibawa seterusnya ke era "Riot Act".

Jauh dari apa yang diperdebatkan banyak orang, Pearl Jam mempunyai cara yang jauh lebih monumental untuk menghargai warisan-warisan scene Seattl-ish berkaitan dengan meninggalnya Kurt Cobain. Jauh lebih terhormat dari apa yang dilakukan anak dan janda mendiang Cobain dengan menggadaikan karya-karya Cobain ke dalam lingkar industri musik saat ini.

TrackList:
01. Last Exit
02. Spin the Black CIrcle
03. Not For You
04. Tremor Christ
05. Nothingman
06. Whipping
07. Pry To
08. Corduroy
09. Bugs
10. Satan's Bed
11. Better Man
12. Aye Davanita
13. Immortality
14. Hey Foxymophandlemama, That's Me

Small Notes:
+ Album terakhir Pearl jam bersama drummer Dave Abruzzese. Setelah launching album, Dave Ab digantikan oleh Jack Irons, mantan drummer Red Hot Chilli Peppers.
+ Dibuat dalam "banned era" yaitu masa dimana Pearl Jam tidak bisa mengadakan konser selama dua tahun akibat kalah dalam pengadilan melawan TicketMaster (TM), raksasa industri musik di Amerika. Pearl Jam membawa TM ke pengadilan dengan mosi anti-trust karena pihak menjual tiket konser Pearl Jam di atas standar harga.
+ Buklet album diilhami oleh buku berjudul "Vitalogy" yang berisi informasi-informasi anatomi dan kesehatan manusia. Buku itu adalah semacam buku wajib kedokteran di akhir abad ke-19.
+ BetterMan, sebetulnya merupakan lagu lama yang ditulis Vedder pada masa sebelum Pearl Jam (Bad Radio). Nothingman merupakan komparasi BetterMan pada sudut pandang yang berbeda secara intepretatif (opini gw sendiri).
+ Spin the Black Circle memenangkan Grammy Award untuk kategori "Best HardRock Performances".

Wednesday, November 23, 2005

60 Minutes Jam for Beginners

Umm...Again...Pearl Jam post. It's OK, since di sini masi dikit yang tau Pearl Jam, I feel obliged to spread this magnificent influence across nation (kaya TIKI aja). Apa lagi sekarang? Bagaimana kalo first thing first, memilih playlist (later version of jukebox, eh) Pearl Jam for beginner? Ok, it seems fine. Cukup dengan mencari katalog lagu-lagu Pearl Jam dari masing-masing kalian, trus masukin ke jukebox. Dalam format mp3 lebih gampang meng-arrange. Kalo yang laen bisa pake jaman keemasan "era kompilasi rekaman". Beli kaset kosong, trus ngerekam. Atau lebih advanced lagi, nyari CD kosong terus bikin personal compilation. Whatever it is...banyak cara. So prepare guys! Kita mulai dari "studio songs" yang bisa membuat betah belajar Pearl Jam.

01. Last Kiss (X-Mas Single/No Boundaries/Lost Dogs/Rearviewmirror)
Hell, call me cliche. Tapi faktanya lagu inilah yang paling dikenal sebagai lagu Pearl Jam di seluruh dunia. Cover tunes dari sebuah lagu lama tahun 50/60-an, direcycle dengan gaya Pearl Jam tentunya. Menjadi lagu yang diproduksi paling murah, tetapi paling ngasilin duit. Stone Gossard said: "Ni lagu fantastis, jadi lagu yang berbiaya paling murah, tapi ngasilin duit paling kenceng. Untung kita naruh lagu ini sebagai proyek amal." (3:17)

02. Betterman (Vitalogy/Rearviewmirror)
"Oh so sweet!" kalo kata banyak orang, terutama cewe tentang lagu yang digawe Vedder di usia 14 tahun itu. Mostly cewek suka banget sama ni lagu, entah kenapa padahal isinya insult kepada cewek. Whatever, tapi lagu yang bermodel up-temp seperti ini emang relatif lebih enak didenger. Petikan gitar di awal lagu yang berubah jadi ritem di tengah menjadikan lagu ini ber-pace sempurna dan membuat sangat enak didengarkan. (4:28)



03. Daughter (VS/Rearviewmirror)
Acoustic-sound-nya menjadi daya tarik tersendiri. Salah satu lagu "pendek" yang relatif gampang dinikmatin. Sering juga jadi background lagu acara-acara infotainment. Sempet menjadi salah satu landmark era-90-an. (3:56)

04. Thumbing My Way (Riot Act)
Lagu motivating, meski teman-nya sad song tetapi bernada seperti lullaby, dan bermodalkan petikan gitar mampu membius alam pikiran. Kontemplatif dengan pesan yang "menyejukkan" (emang AA Gym!). Gampang dicerna pula, dan bisa didengerin di segala suasana (iklan sekali bahasanya). (4:48)

05. Black (Ten/Rearviewmirror)
Mungkin "ballad" paling populer dari Pearl Jam...lagu tentang "being black" maybe, tentang patah hati. Manjur digunakan sebagai obat penawar hati yang tengah luka. Dikonsumsi dalam kamar yang gelap (black) dan me-nimpali dengan live version: "...we belong, together!". Tapi untuk pemula, cukup "I know someday you'll have a beautiful eyes, I know you'll be a star, in somebody else's sky, but why can't it be mine"-nya aja sebagai media. (5:39)

06. Release (Ten)
Slow temp, kunci D mengubah segalanya (kata Ridha "got.ID"). Petikan yang membawa kita ke angst-nya Eddie Vedder atas bokap-nya. Tapi tidak dianjurkan untuk terlalu menjiwai. Cukup sebagai liner bahwa kita punya sesuatu untuk ditunjukkan kepada ortu tercinta, ini lagu adalah formula sempurna. Oh, kecuali tentunya kalo ayah kamu ternyata Roy Marten yang meninggalkan kamu ketika kecil, dan ibumu untuk menikah dengan Ully Artha. Dan ibumu adalah Deasy Ratnasari yang dimake-up tua (secara tidak meyakinkan), dan selalu batuk. (4:31)

07. Indifference (Vs)
Mungkin paling soul di antara katalog Pearl Jam. Untuk versi awal, boleh didengerin versi studio-nya yang sangat emosional dan sentimentil. Slow juga, tetapi powerful di: "I will scream my lungs out, until it fills this room". Soul-nya sangat masuk. Dan bagi Anda sekalian yang mengapresiasi musik soul seperti James Brown, Pearl Jam has their kind of shamanic, especially Ed Vedder. R. Kelly, he's a fuckin corporate. Glenn Fredly...blah..blah! Even Ben Harper showed his admiration over this song. (4:49)

08. Nothingman (Vitalogy/Rearviewmirror)
Sama seperti Black, bagi cowok-cowok yang menyesal telah berpisah dengan cewek-nya (terutama yang "diputus"), jangan dengerin lagu ini kecuali kamu pengen tambah menyayat hatinya. Atau bagi cewek yang abis putus sama cowoknya (dianjurkan untuk dalam posisi "memutus"), dengerin lagu ini buat pemantap hati. Salah satu ballad ter-keren juga. (4:34)

09. Off He Goes (No Code/Rearviewmirror)
Folk-ballad paling easy listening. Dan bagi yang bisa mengiringi dengan gitar, memainkan lagu ini adalah terapi bagi jiwa yang resah (yaila!). Nope, I'm just kidding, it's just fit in our ear. And fit in pop-listener too. (6:00)

10. Around the Bend (No Code)
Lullaby yang paling "touchee" dari lagunya Pearl Jam. Tentang arti orang yang paling kita kasihi dalam hidup kita. Bisa diceritakan atau dinyanyikan kepada anak-anaknya, istrinya dan sebagainya sebagai pengiring tidur. (5:32)

11. Light Years (Binaural/Rearviewmirror)
Ah, distance. Apa yang menyebabkan jarak itu relatif? Einstein mungkin berkata, kecepatan dan waktu yang membuat jarak relatif. Tapi Vedder berpendapat bahwa "presence" lah penanda relativitas jarak. Do you? (5:10)



12. Man of the Hour (OST Big Fish/Rearviewmirror)
Bagi yang udah nonton film-nya dan tersentuh sama polah Ewan McGregor dan anak-nya, resapi lagu ini. Tune-nya sangat pas sebagai ending film karya Tim Burton tersebut. (3:45)

13. Long Road - with Ali Khan (ext. version from OST Dead Man Walking)
Tabla dari Nusrat sangat membuat lagu ini begitu emosional. Pas sekali sebagai medley dari 'Dead Man Walking"-nya Bruce Springsteen di film-nya Tim Robbins tersebut. Setelah ending, suara Vedder bisa menjebol bendungan air mata yang udah ngumpul di kelopak sepanjang film. Try it! Just listen directly from the movie. (umm..ten minutes maybe, or more?)

14. I Am Mine (Riot Act/Rearviewmirror)
At last, sebagai pengakhir ada komposisi paling pop secara musikal dari Pearl Jam. Singel terakhir yang mendunia (meski reputasinya tak sehebat "Daughter" atau "Jeremy") tetapi lagu ini membuktikan diri mampu masuk ke chart pop music. Temanya tentang importance of being safe (and selfish-ly safe). (3:36)

Next: Pearl Jam for Intermediate

Friday, November 18, 2005

Resensi: Rough Demo got.ID

Seberapa jauh sebuah inspirasi mempengaruhi karya dalam bermusik? Creed pernah disebut sebagai nu-Pearl Jam, atau Seether dianggap sebagai Nirvana baru. tetapi apa yang dinilai dari Creed adalah karakter suara Scott Stapp yang mengikuti jejak bariton Eddie Vedder. Sementara latar musik mereka tidaklah seperti justifikasi sebagai nu-Pearl Jam. Begitu juga dengan model vokal Cobain pada lagu-lagu Seether. Secara keseluruhan, mereka tidak pernah berhasil menciptakan musik Pearl Jam atau Nirvana. Karena musik itu adalah masalah sound and soul.

Hal itulah yang dipahami oleh got.ID. Band asal Jakarta yang sangat terinspirasi oleh Pearl Jam ini tetap tidak berusaha untuk mengkopi Pearl Jam, atau untuk menjadi Pearl Jam-nya Indonesia hanya dengan sekedar memirip-miripkan salah satu bagian. Personil got.ID yang terdiri dari Arief (gitar, vokal), Ridha (gitar), Yosa (bas) dan Mayo (drum) ini membawa pengaruh masing-masing ke dalam karakter musik yang dihasilkan sebagai sebuah grup. Arief yang tumbuh dengan musik-musik Metallica membawa layer ritem dan kord yang cukup dominan untuk dilapis dengan komposisi hard rock-ish dari Ridha, seperti yang terdapat pada nomor instrumental "Koboy". Meski proses pendewasaan bermusik Ridha dimulai dari kecintaannya terhadap masa-masa grunge dahulu, tetapi root yang ditularkan Ridha ke dalam musik got.ID adalah vintage root, misalnya dalam melodi-melodi klasik pada track "Orang Tua Itu". Atau melapisi permainan ritem dalam "Fajar" yang dibentuk dari race antara beat drum Mayo dan dual kord dari Ridha yang menjadikan track ini terdengar seperti musik The Ramones. Sedangkan di dalam "Indah" Ridha menambah kesan "gelap" dari warna vokal bariton Arief dengan melodi-melodi panjang ala Binaural-nya Pearl Jam. Warna musik funky yang banyak masuk melaui Yosa bisa didengarkan pada "Terlalu", yang bergabung dengan komposisi kord punk ala musik grunge. Menghasilkan unifikasi dalam bentuk musik yang mirip dengan Pas Band pada masa rilis Indie[V]Duality.

Secara keseluruhan, got.ID bisa merangkum seperti apa influens mereka. Track-track dari demo yang total berisi 8 lagu tersebut menjelaskan root karakter musik Pearl Jam dari era Ten sampai Binaural. Musik yang keluar dari kerucut pengaruh musik masing-masing personal, sangat berisi dan jujur tanpa harus berusaha mirip dengan Pearl Jam. Meski pada akhirnya secara tidak langsung justru mereka menjadi bentukan band yang paling mirip dengan band yang lagunya masih sering mereka bawakan ketika konser tersebut. Tidak dalam versi mentahnya memang, tetapi landasan dan hasil yang keluar membuat mereka menjadi lebih progres dibanding band yang hanya menjiplak karakter suara Vedder dan mengklaim sebagai nu-Pearl Jam. Got.ID menghasilkan komposisi musik mereka sendiri. Secara sound dan soul musik mereka adalah hasil dari root mereka. Hal yang membuat pecinta musik "jujur" ala "grunge" pada awal 90-an bisa menjadi fans instan mereka. Highly recommended bagi pecinta musik alternatif berkualitas!



Tracks:
01. Orang Tua Itu 3:35
02. Terlalu 3:45
03. Fajar 4:02
04. Kosong 3:48
05. Indah 6:04
06. Terlanjur 2:11
07. Koboy (instrumental demo) 4:54
08. Lelah 4:11

Highlight:
Orang Tua Itu - Kombinasi antara gitar dengan vokal yang menjadikan musik ini lebih tebal melalui harmonisasi keduanya.
Fajar - Komposisi hirarkis antar-instrumen yang paten ditambah editing yang bagus menjadikan empat menit track ini sempurna.
Indah - Tak secerah judulnya, durasi enam menit menjadi berlipat ganda dengan alunan vokal yang gelap serta melodi panjang. Mike McCready berduet dengan Eddie Vedder di Nothing as it Seems? Atau Pink Floyd? Track yang paling apresiatif.
Lelah - Pearl Jam back in Ten era. Enuff said!

Overall:
I can't believe this record hasn't made out the label yet! What the fuck happened with our music industry?

*Berminat mencicipi demo mereka? Gw bagi sample-nya. Kirim email ke hilman_t@yahoo.com, kasi tau kemana gw musti kirim! For Free...

Thursday, November 17, 2005

OST Singles - The Perfect TimeCapsule for Early 90's Scene

Sisi moumental dari sebuah film tentang romantisme anak muda kadang datang dari sisi yang tidak terduga. Sutradara (muda, pada waktu itu) Cameron Crowe adalah seorang pecinta sejati musik. Dirinya pernah menjadi kontributor majalah papan atas mulai dari Cream sampai Rolling Stones. Tapi berkah bagi Crowe justru ketika dia mengajak Paul Westerberg sebagai produser album kompilasi soundtrack film-nya yang berjudul Singles. Filmnya sendiri bercerita tentang kehidupan anak-anak muda di Seattle dalam mendefinisikan hubungan (cinta) mereka. Tidak ada yang istimewa dari film yang dibintangi Bridget Fonda dan Matt Dillon tersebut. Kecuali Original Soundtrack-nya berhasil menjadi monumen kompilasi terbaik yang seolah membekukan sebuah scene musik dalam time capsule. OST Singles adalah soundtrack tentang alternatif 90-an yang paling baik sepanjang masa.



Hampir semua line up dari Seattle Sound turut serta dalam kompilasi ini kecuali Nirvana. Alice in Chains membuka dengan "Would" yang diambil dari album Dirt. Nomor yang fenomenal dengan permainan instrumen maksimal kuartet ini. Pearl Jam menyumbangkan dua buah lagu yang (saat itu) tidak terdapat dalam album apapun sampai rilis Lost Dogs berpuluh-puluh tahun kemudian. Yang pertama lagu bertempo mid-temp berjudul "Breath". Kemudian satu lagu yang menjadi anthem selama bertahun-tahun dalam tempo yang menggambarkan scene musik pada saat itu, berjudul "State of Love and Trust". Mother Love Bone, predecessor Pearl Jam yang saat itu sudah almarhum turut juga men-donor-kan satu buah lagu yang belakangan sering dibawakan oleh Eddie Vedder cs., "Crown of Thorns". Sementara itu Soundgarden juga mengisi deretan musisi dengan mencantumkan "Birth Ritual". Belum cukup, Chris Cornell yang bersama anggota Pearl Jam ikutan tampil di film juga menambahkan dengan satu buah lagu karya solo-nya berjudul "Seasons". Deretan nama besar itu masih ditambahkan dengan line up paten yang juga mendukung mereka seperti Mudhoney, Smashing Pumpkins dan Screaming Trees yang juga pelakon scene alternatif awal ini.

Paul Westerberg yang juga menyumbang satu buah lagu didalam album ini menghadirkan juga nomor klasik kesukaan Crowe, "Battle of Evermore". Lagu Led Zeppelin itu dibawakan ulang oleh The Lovemongers. Satu lagi track favorit Crowe yang muncul adalah "May This Be Love"-nya Jimi Hendrix, yang tampil dalam versi original-nya. Deretan line up itu adalah jaminan mutu bagi album ini. Selain sebagai time capsule yang sempurna untuk musik di awal 90-an, bagi para penikmat musik yang ingin "mempelajari" apa yang disebut dengan musik grunge bisa menjadikan album ini sebagai bab pembuka. Album ini adalah album yang wajib dimiliki oleh semua orang yang fanatik dengan kualitas musik dan peduli akan pentingnya dinamika dalam musik. Paling tidak, album ini telah ikut menempatkan filmnya yang lumayan flop sebagai monumen penanda waktu era 90-an. Gelombang musik yang selamanya mengubah musik modern.

Tracks:
01. Would? - Alice In Chains
02. Breath - Pearl Jam
03. Seasons - Chris Cornell
04. Dyslexic Heart - Paul Westerberg
05. Battle Of Evermore - The Lovemongers
06. Chloe Dancer/Crown Of Thorns - Mother Love Bone
07. Birth Ritual - Soundgarden
08. State Of Love And Trust - Pearl Jam
09. Overblown - Mudhoney
10. Waiting For Somebody - Paul Westerberg
11. May This Be Love - Jimi Hendrix
12. Nearly Lost You - Screaming Trees
13. Drown - Smashing Pumpkins

Tuesday, November 15, 2005

MegaNut - Featuring Stone Gossard

Gitaris Pearl Jam, Stone Gossard terlibat dalam pembuatan album MegaNut, "That Would be Dope". Stoney ikut memproduserin satu lagu, sekaligus bermain gitar di salah satu track side project band-nya Lonnie "Meganut" Marshall, bassis Weapon of Choice. Album ini digambarkan sebagai album yang "furiously funky", sesuai dengan kapasitas si Lonnie "Meganut" Marshall sebagai bassis funk legendaris. Stone sendiri, selain dengan Pearl Jam juga telah mengeluarkan tiga buah album side project bersama grup-nya "Brad".

MegaNut available at tenclub store.

Menghargai Perempuan (versi Rock N Roll)

Dunia rock n' roll memang sepertinya didominasi kaum adam. Apalagi istilah atau attitude sex - disamping drugs - menjadi suatu elemen wajib bagi para rocker (yang juga manusia) tersebut. Bahkan banyak band-band "ABG" yang baru bermunculan seperti My Chemical Romance, Good Charlotte, Simple Plan atau apalah itu namanya mengaku bahwa salah satu obsesi main band mereka adalah juga demi mendapatkan perhatian kaum hawa. Patron yang berlaku, jika pengen ngedapetin cewek di hi-skul Amrik, kalo ngga jadi bintang olahraga ya nge-band. Segitu hebatnya magnet makhluk perempuan itu. Sampai-sampai banyak band yang menjadikan perempuan sebagai subjek tulisan lagu, inspirasi. Apa yang terekam dalam film besutan sutradara Cameron Crowe, "Almost Famous", bisa menjadi suatu ilustrasi. Begitu pentingnya kehadiran cewek dalam band rock n' roll (apalagi hip hop dewasa ini yang semakin eksplisit menampilkan hal itu).

The Donnas
The Donnas, berpenampilan manis, cute dan "seksi", tidak membuat mereka berhenti berkarya. Donnas menghasilkan musik yang "unpopular", sesuai dengan keinginan bermusik mereka, meski sempat angkat tenar dengan masuknya Garage Rock ke dalam industri musik dunia.
So, apa yang akan terjadi jika satu band tersebut semuanya perempuan? Inget film "10 Things I Hate About You"? Karakter Julia Stiles di film tersebut yang sangat idealis-feminism digambarkan sangat menggilai girl's rock movement. Yaitu band-band rock n' roll based yang semua anggotanya perempuan. Beberapa band rock yang beranggotakan cewek memang memberi inspirasi bagi kaum hawa, sementara bagi cowok, band semacam itu enaklah dilihat. Bagi beberapa orang (cowok) sangat menyenangkan melihat cewek yang mempunyai attitude (bukan fake bikinan produser, sorry, kaya Avril Lavigne atau Kelly Clarkson), tapi yang dalam istilah beberapa orang disebut sebagai sexy and rock n' roll. The Donnas misalnya, band garage yang semua personelnya cewek ini bisa dibilang sebagai "spice girls"-nya dunia cewek, kecuali tentu saja mereka menulis musik mereka sendiri. Musik old-skul rock n' roll simpel ala The Ramones mungkin, menjadi jembatan attitude mereka. Band lain misalnya, Sleater Kinney, yang terdiri dari trio cewek. Meski dengan tampang yang tidak "sekeren" The Donnas, integritas bermusik mereka mendapatkan banyak acungan jempol dari kalangan musisi. Pearl Jam bahkan membawa Kinney's tur konser bersama mereka. Lagu-lagu Kinney's memang lebih kompleks (dan lebih "unpopular") dibanding The Donnas yang sangat kental "garage"-nya. The Donnas sangat tertolong oleh nge-hip-nya Garage Rocks, maka Sleater Kinney lebih banyak berjuang dari sisi bawah sampai mulai menapaki tangga sukses lewat serangkaian tur bersama Pearl Jam. Sehingga sekarang nama terakhir lebih resisten di kancah musik Amerika. Mengingatkan kita pada Kittie, band numetal asal Amerika juga yang meroket bebarengan dengan melesatnya nama-nama KoRn, LimpBizkit dan sebagainya di mainstream musik dunia.

Sleater Kinney
Carrie Brownstein, Corin Tucker dan Janet Weiss dari Sleater Kinney. Ngga se-cute anak-anak The Donnas, tapi done it with attitude. Still rule their own music dan mendapatkan banyak apresiasi dari banyak musisi di Amerika Serikat.
Band-band tersebut bisa menjadi contoh tentang sisi pendekatan bagi cewek untuk tetap idealis mencari attitude mereka sendiri. Tidak selalu menjadi objek dari cowok, tetapi membuktikan eksistensi mereka sendiri. Sutradara Quentin Tarantino yang secara eksplisit mengetengahkan fenomena tersebut dalam film "Kill Bill" juga menunjuk band garage asal Jepang The 5678's sebagai salah satu featurer dalam film. Dari sekian jagoan yang cewek (anggota DyVAS, kecuali Michael Madsen), muncul juga alter-jagoan berupa Japanese SchoolGirl Freak (GoGo Yubari) anak buah O Ren Ishii dalam klub yang menampilkan The 5678's.

Isu kesetaraan gender yang merebak bersama posmodernisme ini menjadi jembatan bagi band-band berpersonel cewek untuk menunjukkan eksistensi mereka melalui attitude dan konsep yang pas sehingga tidak melulu menjadi media pemuas visual dunia musik belaka. Apa yang terjadi dengan Bond adalah konsep yang setali tiga uang dengan munculnya Atomic Kitten, Spice Girl dan sebagainya. Mereka memang berpersonel cewek, tetapi tidak dengan attitude mandiri. Mereka hanyalah objek yang dimanfaatkan produser untuk menjadi gula-gula visual industri musik. The Donnas, Kittie, atau Sleater Kinney meski tidak begitu "mendunia" tetapi mereka berhasil menemukan jatidiri bermusik mereka. Mereka berdiri di sana karena tahu apa yang harus dilakukan.

Melissa Auf Der Maur
Bassis "freelance" paling terkenal di dunia sub-pop, Melissa Auf Der Maur. Meski dikarunia tampang yang "laku dijual", Der Maur membuktikan diri dengan eksistensi permainan bass-nya di antaranya lewat Zwan atau A Perfect Circle.
Ada juga cewek yang mengambil peran sebagai penyeimbang dalam band yang multi-gender. Roxette misalnya. Marie Fredriksen tidak hanya berfungsi menjadi pemanis belaka dalam duo tersebut, tetapi menjadi jiwa yang pas bagi musik Roxette. Apa yang terjadi Roxette tanpa Marie? Atau nyawa Cranberries yang berada di tangan Dolores O' Riordan. Di kancah lokal, Kikan juga menjadi soul buat band Cokelat. Karakter suara Kikan sangat lekat dengan imej musik yang dibuat oleh Cokelat. Berbeda kasus dengan band orbitan seperti Ratu. Meski hadir dengan beat-beat unik dan easy listening (yang menjadi keahlian maestro Ahmad Dhani), Ratu adalah band yang dikonsepkan untuk menjadi band "visual" di mata cowok. Konsep dan target audiens mereka sebetulnya adalah kaum adam. Tetapi karena karakter pasar musik Indonesia yang cenderung "lugu", banyak juga pangsa cewek mengartikan Ratu sebagai band yang membela kepentingan mereka. Hal ini sama persis dengan fenomena TATU, dari Russia yang bahkan semakin profan menunjukkan kapasitas "imej" mereka dengan serangkaian adegan lesbian di panggung. Atau Kelly Clarkson dan Avril Lavigne yang "dipaksa" berdandan dengan rockstar-attitude (yang cuek), sebagai bungkus luaran imej. Tetapi tetap saja mereka tidak akan mengalahkan attitude Alanis Morissette pada saat rilis "Jagged Little Pill" di tahun 95 lalu. Britney Spears boleh mengcover lagu Joan Jett' "I Love Rock N Roll", tetapi hanya sebatas meng-cover lagu. Tanpa mengandalkan visualisasi gender (baca: daya tarik imej seksual), tidak mudah bagi kaum hawa menembus mainstream musik rock n roll dunia, apalagi mendapatkan apresiasi setara dengan sejumlah band. Paling-paling, mereka kemungkinan berhasil ketika menjadi salah satu anggota di antara personel lain yang cowok. Tarja Turunen berhasil menghidupkan Nightwish karena kesesuaian konsep "metal-opera". Bakat besar Tarja dalam musik opera sangat cocok dengan karakter musik metal di Eropa. Konsistensi Nightwish patut diacungi jempol dalam membuat musik yang konsisten dari album pertama sampai terakhir merilis Century Child sebagai full album terakhir. Tentu saja keterlibatan Tarja, meski hanya sebagai penyumbang suara, sangat menginspirasi personel lain Nightwish dalam membuat musik. Dalam hal ini, kapasitas gender Tarja tidak melindungi dari "misapresiasi dan misintepretasi". Seperti Juga Dolores, Linda Perry (4 Non Blondes) atau Marie Fredriksen yang meski berada di lingkungan yang didominasi pria, tetap berhasil membuktikan karakter dan kemampuan mereka, jauh dari kesan "memanfaatkan" atau mengiba dengan status gender mereka. Dalam kasus pemegang instrumen (bukan biduan), Billy Corgan tentu mempunyai pertimbangan jelas untuk mengajak D'Arcy atau kemudian Melissa Auf Der Maur dalam The Smashing Pumpkins atau Zwan.

Banyak contoh nama di dunia rock n' roll yang bisa menjadi contoh kasus wanita dengan attitude. Bukan semata "produk" yang dijual, tetapi juga membuktikan kapasitas mereka melalui karya. Long live sexy and rock n roll!

Thursday, November 10, 2005

Provide Codes for No Code`



Here my reviews or intepretation on "No Code". Album yang sejak lama semacam di-"remeh"-kan fans, padahal punya konsep yang bagus, menurut gw. Selain polaroid dan album concept yang keren (thanks Jerome Turner*...hehe, such a talented person). Di album ini seolah Pearl Jam memperlihatkan root musical mereka dengan banyak memasukkan influens funk, punk, rock n' roll, blues, folk dan sebagainya. Kehadiran drummer Jack Irons sangat memberi warna pada album ini setelah sebelumnya Dave Abbruzzesse mengisi di 3 album awal. Dan ini mungkin beberapa opini yang membuat kalian berpikir ulang tentang No Code. Hopefully. Atau berpikir ulang tentang Pearl Jam?

01. Sometimes
Intro untuk konsep "No Code" mungkin dimana Ed Vedder ngasi suatu floating statement tentang eksistensi manusia di bawah Tuhan. Apa kedudukan kita di antara manusia-manusia lain. Bagaimana semuanya berjalan dan dimana kita akan berpartisipasi.

seek my part... devote myself
my small self... like a book amongst the many on a shelf
sometimes i know, sometimes i rise


02. Hail Hail
Casual relationship song, mungkin sangat "curhat" sekali frekuensi kita menikmatinya seperti Betterman atau Black. Tentang bagaimana menghadapi perubahan di dalam hubungan dua manusia. Bisakah kita memberi ruang kepada segala sesuatu yang kita temui di dalam hidup, masih dalam lingkar "saling mengalahkan ego" dari dua individu dalam satu hubungan. Hence, jika lo survive, hail hail!

all hail the lucky ones, i refer to those in love


03. Who You Are
Another existence based song. Take a look at the title. Dan dalam rangka dialog meneruskan "Sometimes", secara transedental menanyakan "siapakah kita". For the note, lagu paling "funky" (not those mentioned like Dirty Frank). I Love Jack Irons, he gave Pearl Jam sort of tribal percussion through this song.

is to transcend where we are
who are we? who we are


04. In My Tree
Sort of someone's perspective to his world. I couldn't figure it out yet. However I like this song, up-temp, tapi ngasi musik yang "sangat No Code". Connective sama "Vitalogy".


05. Smile
Baru "ngeh" ma ni lagu dikasi tau ma Arip (got ID). Trus a couple times denger versi konser-nya, cuman essence-nya ternyata ada di studio-song-nya. Soul-nya, ditambah jika kita ngeliat teks yang ada di polaroid-nya, tentang makna lagu ini. Pretty straight, skepticism, ironic, tapi pangkalnya adalah love that cheers you (or bring you to sort of "hallucinated" condition) even in a bitter moment. Lagu buat yang selalu jauh dari orang yang dicintainya, untuk tetap merasa dekat. Yet again, "curhat" song.

06. Off He Goes
Sebenernya jika Pearl Jam mau sedikit komersil, lagu ini pasti bisa menjadi lagu wajib bergitar seperti halnya More Than Words oleh Extreme. Gw mengintepretasikan lagu ini tentang penilaian seseorang (mungkin) terhadap dirinya sendiri sebagai bentuk introspeksi. Betapa segalanya berubah dalam kondisi yang berubah. Mengubah dia dan dunia di sekitarnya. Sesuatu yang selalu kita rasakan dalam hidup.

07. Habit
Lagu kenceng kedua setelah Hail Hail, seems taken with hardcore' approach like Spin. Anyway, lagu ini sepertinya berbicara tentang "imitating" dan "ikut-ikutan". Mengaca pada bait:

seen it happen to a couple of friends
seen it happen and the message it sends


Bahwa kadang dari kita melihat suatu hal dilakukan oleh banyak orang lantas kita adjust bahwa hal itu adalah "obligasi" bagi kita untuk mengikutinya. Sampe menjadi semacam "habit".

08. Red Mosquito
Used to be my favorite tracks. Folks, Country dan Blues sekali. Apresiasi-nya mandeg di situ karena apa yang di dalam lirik-nya sangat ngga jelas. Ada yang bilang kalo "vampire imagery" dalam lirik-lirik-nya Ed Vedder adalah kesinambungan. Jika dilihat sebelumnya ada Animal, Rats, Blood, Aye Davanita (source: Michael K. Stine). However, still it's a great song (musically). I love this one, forced me to sing allover the time.

09. Lukin
Finds it so hard about life, there's always be friends among us to share. Friends are friends just like what they are. Just knock at them...Musically, the most raged songs from Pearl Jam. Arip's favorite, and soon to be my favorite when we hold guitar for a while and start to sing with fussing atmosphere around. Or when you're down alone. Too bad, it's just too damn short

10. Present Tense
Always be the "curhat" song forever. Tentang bagaimana kita menyikapi apa yang sudah terjadi, dan lebih fokus ke apa yang sedang terjadi. Tentang analogi-analogi. Tentang bangkit dari keterpurukan. Lagu yang sangat membangunkan (moving), dan ciri khas Pearl Jam, membela orang yang sedang di bawah. I love this song, and make me proud of being Pearl Jam' fan.

you can spend your time alone, redigesting past regrets, oh
or you can come to terms and realize
you're the only one who can't forgive yourself, oh
makes much more sense to live in the present tense


11. Mankind
Khas Stoney (Gossard - Pearl Jam' guitarist, hardly influenced by punk rhytm based), very melodic punk. Dengan tema yang (lagi-lagi) sangat manusiawi. Apa yang kita kerjakan di dunia sebagai "warisan" kultur sebelumnya. Semacam simulasi dan imitasi yang terus berulang, sebagai kepalsuan-kepalsuan yang mengikat hidup manusia.

it's all just inadvertant imitation
and i don't mean mine
it's all across this nation
if it's just inadvertant simulation
a pattern in all mankind
what's got the whole world faking?


12. I'm Open
Basically tentang kekosongan-kekosongan eksistensial yang dihadapi manusia. Ketika kecil sampai tumbuh dewasa kita mempunyai banyak sekali pertanyaan eksistensial mengenai diri kita. Hanya saja, ketika beranjak dewasa ternyata pertanyaan-pertanyaan tersebut tetap susah dijawab. Dan sedihnya, bahkan tidak ada orang (atau "agama dan ilmu pengetahuan") yang mampu membantu jawaban-nya.
Great speech-mode by Eddie Vedder. His characteristic voice!

13. Around the Bend
Beberapa fans mengungkapkan indahnya lagu ini sebagai ending album No Code. Tentang admiration terhadap karunia terbesar berupa kasih sayang ketika menatap wajah pasangannya (atau anaknya, atau siapa aja) ketika tidur. Gw belum separah itu mengalaminya, tetapi dari kejadian aksidental ketika gw liat pacar gw tidur di bis, gw inget lagu ini and almost tearjerker (blah..blah). Amazing bands to create such song.

i'm wishing you a-well
mind at peace within your cell
covers up, i cast you off
i'll be watching as you breathe
i lie still, you move
i send you off around the bend
i hold your head deep in my arms
my fingertips they close your eyes
off you dream, my little child


*PS: Jerome Turner is Ed Vedder for those who didn't know.

Wednesday, November 09, 2005

The Way to Appreciate Pearl Jam

Email yang dikirim ke temen untuk minta penjelasan: why Pearl Jam? He actually lose something to appreciate PJ, and demand an explanation from me...And here it is, to share with all of you why should we love Pearl Jam.

Kalo soal musik-nya Pearl Jam sih emang relatif lebih susah memahamin-nya. Biar cepet kita musti "ngalamin" sendiri, dalam artian nge-jam atau maenin musiknya Pearl Jam. Di situ keliatan banget kalo "eksekusi" yang mereka ambil sangat ngga pop sekali (quoted from Arip, music practician - got ID guitar-vocal-ist). Beda sama Nirvana, STP dan sebagainya, yang cukup pake feel, beat-nya udah ketebak, kalo Pearl Jam beda. Soul-nya terutama (according to Ridha, music practician - got ID gutarist). Jadi emang relatif susah diterima sih di kuping. Musti terbiasa dulu, dan seperti yang gw bilang lebih mudah kalo via praktek langsung. Tapi begitu kita bisa "tune" sama musik-nya Pearl Jam, itu adalah hal yang adiktif. Itu mangkanya Pearl Jam ngga ngeluarin big hit. Semua lagunya adalah favorit. Dalam 4 konser misalnya, Pearl Jam bisa membawakan total 62 lagu dengan hanya 2-3 lagu yang sama di tiap-tiap setlist-nya.

"I'm making music for music's sake, and I have an audience I'm proud of" [Ed Vedder]


Kalo soal lirik, Pearl Jam (terutama Ed Vedder) sangat bisa mewakili "suara-suara" orang "bawah". Maksutnya yang secara global-komunal seperti ngga diterima (let say...loser maybe), juga tema-temanya yang berani, konfrontatif, dan juga dalem (eksistensial). Mungkin bagi banyak orang, Pearl Jam seperti mewakilin jiwa mereka berekpresi, layaknya nerd rock dengan dewanya Radiohead. Mereka kan juga orang-orang yang "terbuang" dari lingkungan kosmopolitan. Bedanya, kalo Pearl Jam lebih ke arah "struggle and rage", ngga cuman "curhat" sama keadaan. Ada resistensi, baik di lirik atau musiknya. With all respect to Radiohead.

"If you can energize people who listen to you to look into issues and understand their freedoms, that's a really positive thing. And as artists, I think you have a responsibility." [Ed Vedder]


Dan dari sekian katalog lagu, semuanya mempunyai tema yang sangat beragam (ngga ada prototipikal cinta" misalnya, atau "rebel" dan "politik"). Semua ada. Dari yang lagu ditinggal mati, filsafat eksistensial, lingkungan, selebritas, politik, friendship dan lain-lain. Dalam hal kualitas, Ed Vedder mungkin bisa disejajarin sama Jim Morisson, John Lennon atau songwriter paten lain. Tetapi somehow, lirik-liriknya Vedder bisa sangat deket karena multi-intepretasi juga.

"We're very reluctant to disclose song meanings. If a person lends their own interpretation of a song, it becomes their song, too. Music for some people is very personal; they need it." [Ed Vedder]


Hal ketiga yang mungkin paling kena adalah attitude mereka. Pearl Jam adalah band untuk fans. Pearl Jam ngga butuh popularitas yang didongkrak. In fact, penjualan album mereka selalu nge-drop dari album pertama, Ten, yang fenomenal.

"How many records you sell doesn't change how you look at the music. Getting a gold record was cool for about two-and-a-half minutes" [Ed Vedder]


Pearl Jam ngga bikin video klip atau ekstensi promosi album. Pearl Jam ingin dihargai karena musik, bukan karena imej mereka. Pearl Jam besar di tur-tur mereka. Hal yang sangat "noble" di tengah pertarungan industri. Pearl Jam juga pernah mengeluarkan "antitrust" terhadap raksasa industri tiket, ticketmaster, untuk memperjuangkan harga tiket yang terjangkau fans mereka. Meski buntutnya mereka di-ban ngga bole ngadain tur selama dua taun.

Pearl Jam is better than any other band almost in history to have had that kind of enormous success, they dealt with it really eloquently. I think that set a great example to other musicians that, you know what, you can actually control the media spotlight. I think they stayed vital. The records they made didn't necessarily appeal to the same number of fans who were into Ten, but they appealed to a lot of people. They sold millions of records without having to make videos and without having to do an overhyped press campaign for each record. - Chris Cornell


Pearl Jam juga ngebolehin fans-nya buat nge-trade official bootlegs yang dikeluarin oleh label indie mereka (Tenclub). Di tiap konser sepanjang tur taun 2000 dan 2002 (jadi ada dua ratusan official bootlegs dari konser yang b'beda), Pearl Jam ngerilis official bootlegs berisi 2 CD konser uncensored (dialog-nya masih utuh), dengan harga murah (seharga satu CD), cuma sekitar 10-an kopi. Nantinya fans diperbolehkan buat ngopi dan trade antar fans. Mereka ngga ngitung profit dari gituan. Tapi untuk album, mereka terikat agreement sama label, jadi dilarang trading. Anthony Kiedis, vokalis RHCP bilang kalo Pearl Jam actually band indie yang besar karena konsep manajemen mereka.

They're essentially an indie band that can sell out stadiums. - Kiedis


Atau seperti yang dibilang Bono:

I'm a huge fan of the Pearl Jam organization, of what you might call the culture around the group. They exist entirely unto themselves. They don't depend on the media, don't depend on the radio. They'll be around for as long as they wish to be. There's only 3 other bands on the planet that have the talent and the mystique to change the world with music. Radiohead, REM, and Pearl Jam. - Bono


Gaya hidup personel Pearl Jam juga sangat low-profile. "Infotainment" mengenai kehidupan di luar panggung mereka tidak di-eksploitasi. Fans Pearl Jam, biasanya terbagi suka atas dasar tiga hal itu: musik-lirik-attitude. Pearl Jam udah jadi "cult", dan kita bisa browsing ratusan situs dengan perspektif berbeda-beda tentang Pearl Jam. Semuanya dibuat oleh fans dan semuanya positif.

"My mind is in these songs, but the fact that so many people can relate to these songs is kind of depressing. Actually, now I understand those religious channels more. Everybody needs something" [Ed Vedder]


Anyway jangan sampe terpengaruh sama tulisan ini...kalo emang ngga suka ya udah. Just like Ed said, sebagai summary.

"If you trust me at all, if you want to listen to me at all..but you certainly don't have to...speaking from experience, I can tell you that things change. You can believe me, you don't have to. They probably won't change unless you make them. The best way to change something that's around you, something you don't like, is to change yourself. And I don't think you want other people changing you, I think the only person that can change you is yourself. So if you ain't happy, if you're reading magazines about generation x-ers and thinking 'yeah, I'm one of them', well fuck that. Don't let anyone tell you who you are. No, no. No one can tell me who I am. I can tell you who I am, but that would be a long story. I could tell you who I am and it wouldn't fit in a Rolling Stone. If wouldn't fit in a video...it's my life, it's your life. You're the only one who knows who you are. I hope you know who you are, figure it out. Cause you are somebody. And I'm probably stating the obvious, but I just thought I'd do it anyway. So if you feel like you've got a piece of duct tape on your mouth, if you feel like you can't speak, take it off, speak up, speak your mind, shout it out,let em hear, shout it out."
[Ed Vedder - Live during Porch 9/29/96]