Thursday, December 29, 2005

Paradoks Sejarah di (Bagian) Sejarah Rock

Tulisan ini adalah terjemahan gw atas artikel yang ada di majalah Spin (online), tentang hubungan antara artikel yang diterbitkan majalah terebut 11 tahun silam (Januari 1995) dengan realita yang terjadi pada saat ini. Gw memilih artikel ini karena menarik sekali, bagaimana sebuah pilihan untuk "mati" bisa menjadi strategi kita hidup. Tentu tidak seprofan itu pembahasannya, tetapi dalam hubungannya dengan ketenaran dan kejayaan, dunia rock (bisa) menjadi sebuah laboratorium hidup untuk diobservasi. Kebetulan, apa yang diangkat oleh Spin kali ini menyangkut dua band favorit gw, Pearl Jam dan Oasis. Here we go:

Ethically Pure Grunge and Cokehead Britpop
Prove that History is Bunk Half the Time

by Chuck Klosterman

December 23, 2005


Bagaimanapun ahli sejarah menganalisa apa yang terjadi di masa lalu, biasanya mereka cenderung memprediksi kelanjutannya (hanya) dalam dua kondisi: bahwa semua akan berbeda sama sekali, atau semua masih tetap sama. Masalahnya, kedua kondisi tersebut bisa saja terjadi pada saat yang sama. Sebelas tahun yang lalu, kolumnis gosip Village Voice di majalah Spin, Michael Mustro, menulis artikel yang terinspirasi oleh karakter dari film The Breakfast Club. Setelah lebih dari sepuluh tahun, paradoks kesejarahan tersebut membuktikan bahwa ada kondisi yang tidak berubah dan ada juga kondisi yang berubah sama sekali.

Saya tidak yakin jika artikel (cover-story) tentang Pearl Jam saat itu (Pearl Jam terpilih menjadi Best Band, tahun 1995 yang dipilih oleh pembaca Spin) atau review konser Oasis (yang bermain di klub-klub pada tur Definitely Maybe) merupakan sebuah refleksi paradoks kesejarahan tersebut, tentang bagaimana musik rock akan berubah selama satu dekade selanjutnya. Atau (hanya) merupakan sebuah kisah klise tentang budaya yang melintasi ruang waktu? Apa yang menarik dari kedua artikel tersebut adalah bukti dari prediksi apa yang akan terjadi ke depan (satunya tersamar, dan satunya lagi cenderung jelas). Dan bisa dikatakan bahwa keduanya akurat. Alasan bahwa hal ini menjadi menarik adalah fakta bahwa masa depan itu cenderung mudah diprediksi tetapi biasanya malah (kadang) menjadi sama sekali berbeda.

Artikel tentang Pearl Jam merupakan interview dengan Eddie Vedder yang merefleksikan keengganannya menerima hasil polling majalah Spin yang menempatkan Pearl Jam sebagai band terbaik tahun 1995. “Gue setuju banget sama pendapat itu,” ujar Vedder ketika reporter menyebut bahwa Pearl Jam juga terpilih sebagai band yang paling overrated. “Gue ngga bakalan mampu bikin band gue menjadi band yang terbaik, tapi gue pasti udah bikin band gue jadi band paling overrated.” Vedder kemudian juga menyayangkan bahwa Mudhoney justru tidak pernah merasakan sukses platinum (tentunya menjadi ironis mengingat Eddie dengan jelas menyatakan bahwa ketenaran-lah yang merusak hidupnya, jadi saya tidak begitu paham kenapa dia malah ingin Mark Arm merasakan hal yang serupa dengannya, whatever). Dalam prediksi yang tersirat, Pearl Jam mungkin (sedang) merencanakan untuk menjadi lebih kecil, dan lebih less-important, dimana ternyata mereka benar-benar melakukannya. Luar biasa!

Saya tidak yakin kalo ada band besar yang bisa mengatur kadar kesuksesan mereka secerdas Pearl Jam – mungkin U2 atau Rolling Stones, tapi mereka tetap dalam kapasitas untuk mempertahankan status stardom mereka, bukan menurunkannya. Pearl Jam sebetulnya merencanakan semacam kurva parabola dari keberadaan mereka di industri musik. Saya kadang bingung dengan orang-orang yang membenci Pearl Jam. Saya juga tidak paham kenapa orang-orang cenderung membenci grup yang pernah merasakan menjadi band terbesar di dunia dan kemudian meneruskan karirnya untuk menjadi tidak sebesar itu. Cukup dengan menjadi band rata-rata. Pearl Jam hanya membuat satu lagu yang bagus (“Corduroy”), tetapi mereka juga mempunyai 19an lagu yang “hanya” sedikit lebih baik daripada lagu berkualitas so-so. Sebetulnya mereka bisa saja membuat tiga album lagi yang merupakan replika dari Ten, lantas menghabiskan sisa karir mereka dengan bersantai, memakan lobster dan berenang di kolam emas. Tapi mereka tidak melakukannya. Mereka tidak melakukannya karena mereka berpikir bahwa hal itu akan menjadikan mereka tidak disukai. You see, nice guys do not finish last, tapi nice guys finish in the middle.

Hal itu membawa kita ke Oasis, sebuah band yang berhasil melampaui kadar medioker mereka dan menjadi megalomania. Oasis adalah gambaran anti-Pearl Jam. Mereka tidak bersikap baik kepada semua orang, termasuk kepada mereka sendiri. “Itu karena Oasis dipenuhi dengan macam-macam ketegangan yang tumbuh dari hubungan aneh Gallagher bersaudara ,” tulis Jonathan Bernstein,“ yang patut dipertanyakan apakah band tersebut bakal berkembang?” Oasis (ternyata) benar-benar berkembang; mereka berkembang menjadi keras kepala, dan semakin susah untuk membawa mereka semakin serius. Tapi akan lebih susah untuk mendebat karya musikal mereka; dimana ketika Pearl Jam hanya membuat satu lagu yang benar-benar bagus, Noel Gallagher paling tidak membuat tiga lagu yang bagus di Definitley Maybe. Dan dia terus membuat karya yang bagus. “Acquiesce” sangat hebat hampir tiga kali lebih bagus dari lagu-lagu terbaik Definitely Maybe, sementara “Don’t Look Back in Anger” lebih bagus sebelas kalinya. Semua orang mungkin berpikir jika Be Here Now kurang rapi, tapi album tersebut tetap saja jauh lebih keren dibanding semua album yang dikeluarkan Blur. Bahkan Oasis menghasilkan dua dari tiga album Britpop paling menonjol yang dirilis sepanjang dekade 90-an. Jadi di sini kita bertanya-tanya: Siapa yang lebih baik? Pearl Jam yang sukses mengubah diri menjadi band medioker, sesuai dengan keinginan mereka sendiri, atau Oasis yang “kebetulan” menjadi rockstar? Baik Eddie atau Noel sama-sama mengagumi Neil Young, sosok yang juga ditanya dengan pertanyaan serupa di tahun 1979: pilih mana, antara menghilang tiba-tiba atau berangsur menghilang? Segalanya berubah.

Dan ada (pula) yang tidak berubah.

Tuesday, December 20, 2005

Vitalogy - A Monumental Experimentation

Album "Ten" sebagai debut album Pearl Jam telah menandai klasifikasi band tersebut ke dalam jajaran industri musik. Secara stereotip, biasanya perjalanan sebuah band setelah kesuksesan album pertama adalah membuat karya yang ngga jauh beda dari album sukses mereka untuk menjaga stabilitas. Tidak sedikit juga yang kemudian sedikit masuk kompromi-kompromi evaluatif agar lagunya lebih diterima pasar. Pada akhirnya jamak juga pendapat: "...more like the old stuff".

Agar tidak "terjebak" dalam stereotipikal kreatif seperti di atas, Pearl Jam secara revolusioner mengubah "jenis" musik mereka secara eksperimentatif dalam album kedua "VS". Hampir 180 derajat, VS jauh lebih dekat ke apa yang dikenal dengan dentifikasi musik grunge. Distorsi yang "diumbar" dan juga absennya kord yang terlalu "shaped" sepeti halnya album pertama. Secara komersial, apa yang dihasilkan Pearl Jam dalam album VS itu justru merupakan penurunan. Pearl Jam tengah berevolusi secara eksperimentatif untuk mulai mencari sound mereka sendiri. Kemunculan lagu-lagu seperti Rats, WMA, atau Indifference menjadi tonggak eksplorasi yang dilakukan Stone Gossard dan kawan-kawan, meski masih menyisakan nomer-nomer familiar dalam Animal, Go dan Rearviewmirror. Secara berkelanjutan, "Vitalogy" yang merupakan album ketiga - dirilis dalam selang waktu 1 tahun dari VS - menampilkan adonan yang kurang lebih serupa dengan "VS". Eksplorasi dan eksperimentasi. Bedanya, dalam Vitalogy, kemasan eksperimentasi dibungkus dalam konsep album yang lebih rapat. Jadi ketika ada komplain standar dari fans tentang band-nya: "...like the old stuff is better and harder or so!", this is Pearl Jam!



Vitalogy lebih kurang seperti dibagi menjadi dua repertoar berdasarkan tempo track-per-track. Pada (semacam) repertoar pertama Pearl Jam mengawali dengan "Last Exit", sebuah lagu upbeat yang dilanjutkan dengan "Spin the Black Circle", semi-hardcore-ish menandakan kontinuitas dengan agresifitas album sebelumnya. Lagu-lagu selanjutnya cenderung menurunkan tempo, sampai pada bab di mana "Nothingman" menutup rangkaian repertoar awal. Repertoar kedua bisa dimulai dengan "Whipping" yang lanjut ke "Corduroy" (diselingi "Pry To", sebuah nomor eksperimental). Dan segera diikuti oleh deretan tracks yang menurun tempo-nya, ditutup oleh format ballad "Immortality" (lagi-lagi dengan menyelipkan nomor-nomor eksperimental). Di album ini Pearl Jam memang terkesan untuk membuat satu "perjalanan" apresiatif dari mendengarkan Vitalogy secara utuh. "Bugs" bahkan, yang hanya bermodalkan akordion, bisa membuat kita memahami betapa annoying-nya sebuah bunyi-bunyian repetitif yang tidak berirama (sesuai dengan pesan lagu). Secara musikal, mereka jauh lebih mature untuk tidak bermasturbasi dengan solo-solo bluesy Mike McCready yang panjang, tetapi menghasilkan harmony seperti halnya yang dilakukan Brian May dari Queen dengan banyak menahan ego-nya. Lagu "Not For You" misalnya, yang menampilkan salah satu solo-melodi gitar terbaik dari Pearl Jam dengan durasi relatif mini. Atau dengan pendekatan ritem-ritem "punk" (trikord) yang "beautifully crafted" dan lebih mature ketimbang dari album VS, seperti di "Tremor Christ" atau "Satan's Bed".

Secara tema, kematian Kurt Cobain mendapat tempat tersendiri pada lagu "Immortality" yang secara implisit memberi makna kematian Cobain dalam posisi sebagai korban. Album Vitalogy juga memberi tempat perlawanan Pearl Jam terhadap media dan industri musik secara umum. Penolakan terhadap fame yang ditulis Eddie Vedder lewat Corduroy menggambarkan angst secara sempurna. Kemudian sikap anti-kompromis yang tertuang dalam Not For You juga memberikan gambaran "pemberontakan" yang melegendakan saga Pearl Jam versus industri musik. Ditambah kasus TicketMaster sebagai unsur ekstrinsik album ini, Vitalogy bisa berperan sempurna sebagai monumen perjalanan bermusik Pearl Jam yang masih tetap eksis sampai jelang 15 tahun sejak rilis album perdana "Ten". Vitalogy juga bisa menjadi landmark terakhir peninggalan "grunge legacy" yang diasosiasikan dengan kematian Kurt Cobain. Entah kebetulan atau tidak, di album selanjutnya, "No Code", Pearl Jam jauh lebih eksperimentatif melepaskan dari grunge-ish, untuk kemudian menemukan musik Pearl Jam sejati dalam album "Yield" yang dibawa seterusnya ke era "Riot Act".

Jauh dari apa yang diperdebatkan banyak orang, Pearl Jam mempunyai cara yang jauh lebih monumental untuk menghargai warisan-warisan scene Seattl-ish berkaitan dengan meninggalnya Kurt Cobain. Jauh lebih terhormat dari apa yang dilakukan anak dan janda mendiang Cobain dengan menggadaikan karya-karya Cobain ke dalam lingkar industri musik saat ini.

TrackList:
01. Last Exit
02. Spin the Black CIrcle
03. Not For You
04. Tremor Christ
05. Nothingman
06. Whipping
07. Pry To
08. Corduroy
09. Bugs
10. Satan's Bed
11. Better Man
12. Aye Davanita
13. Immortality
14. Hey Foxymophandlemama, That's Me

Small Notes:
+ Album terakhir Pearl jam bersama drummer Dave Abruzzese. Setelah launching album, Dave Ab digantikan oleh Jack Irons, mantan drummer Red Hot Chilli Peppers.
+ Dibuat dalam "banned era" yaitu masa dimana Pearl Jam tidak bisa mengadakan konser selama dua tahun akibat kalah dalam pengadilan melawan TicketMaster (TM), raksasa industri musik di Amerika. Pearl Jam membawa TM ke pengadilan dengan mosi anti-trust karena pihak menjual tiket konser Pearl Jam di atas standar harga.
+ Buklet album diilhami oleh buku berjudul "Vitalogy" yang berisi informasi-informasi anatomi dan kesehatan manusia. Buku itu adalah semacam buku wajib kedokteran di akhir abad ke-19.
+ BetterMan, sebetulnya merupakan lagu lama yang ditulis Vedder pada masa sebelum Pearl Jam (Bad Radio). Nothingman merupakan komparasi BetterMan pada sudut pandang yang berbeda secara intepretatif (opini gw sendiri).
+ Spin the Black Circle memenangkan Grammy Award untuk kategori "Best HardRock Performances".