Ethically Pure Grunge and Cokehead Britpop
Prove that History is Bunk Half the Time
by Chuck Klosterman
December 23, 2005
Prove that History is Bunk Half the Time
by Chuck Klosterman
December 23, 2005
Bagaimanapun ahli sejarah menganalisa apa yang terjadi di masa lalu, biasanya mereka cenderung memprediksi kelanjutannya (hanya) dalam dua kondisi: bahwa semua akan berbeda sama sekali, atau semua masih tetap sama. Masalahnya, kedua kondisi tersebut bisa saja terjadi pada saat yang sama. Sebelas tahun yang lalu, kolumnis gosip Village Voice di majalah Spin, Michael Mustro, menulis artikel yang terinspirasi oleh karakter dari film The Breakfast Club. Setelah lebih dari sepuluh tahun, paradoks kesejarahan tersebut membuktikan bahwa ada kondisi yang tidak berubah dan ada juga kondisi yang berubah sama sekali.
Saya tidak yakin jika artikel (cover-story) tentang Pearl Jam saat itu (Pearl Jam terpilih menjadi Best Band, tahun 1995 yang dipilih oleh pembaca Spin) atau review konser Oasis (yang bermain di klub-klub pada tur Definitely Maybe) merupakan sebuah refleksi paradoks kesejarahan tersebut, tentang bagaimana musik rock akan berubah selama satu dekade selanjutnya. Atau (hanya) merupakan sebuah kisah klise tentang budaya yang melintasi ruang waktu? Apa yang menarik dari kedua artikel tersebut adalah bukti dari prediksi apa yang akan terjadi ke depan (satunya tersamar, dan satunya lagi cenderung jelas). Dan bisa dikatakan bahwa keduanya akurat. Alasan bahwa hal ini menjadi menarik adalah fakta bahwa masa depan itu cenderung mudah diprediksi tetapi biasanya malah (kadang) menjadi sama sekali berbeda.
Artikel tentang Pearl Jam merupakan interview dengan Eddie Vedder yang merefleksikan keengganannya menerima hasil polling majalah Spin yang menempatkan Pearl Jam sebagai band terbaik tahun 1995. “Gue setuju banget sama pendapat itu,” ujar Vedder ketika reporter menyebut bahwa Pearl Jam juga terpilih sebagai band yang paling overrated. “Gue ngga bakalan mampu bikin band gue menjadi band yang terbaik, tapi gue pasti udah bikin band gue jadi band paling overrated.” Vedder kemudian juga menyayangkan bahwa Mudhoney justru tidak pernah merasakan sukses platinum (tentunya menjadi ironis mengingat Eddie dengan jelas menyatakan bahwa ketenaran-lah yang merusak hidupnya, jadi saya tidak begitu paham kenapa dia malah ingin Mark Arm merasakan hal yang serupa dengannya, whatever). Dalam prediksi yang tersirat, Pearl Jam mungkin (sedang) merencanakan untuk menjadi lebih kecil, dan lebih less-important, dimana ternyata mereka benar-benar melakukannya. Luar biasa!
Saya tidak yakin kalo ada band besar yang bisa mengatur kadar kesuksesan mereka secerdas Pearl Jam – mungkin U2 atau Rolling Stones, tapi mereka tetap dalam kapasitas untuk mempertahankan status stardom mereka, bukan menurunkannya. Pearl Jam sebetulnya merencanakan semacam kurva parabola dari keberadaan mereka di industri musik. Saya kadang bingung dengan orang-orang yang membenci Pearl Jam. Saya juga tidak paham kenapa orang-orang cenderung membenci grup yang pernah merasakan menjadi band terbesar di dunia dan kemudian meneruskan karirnya untuk menjadi tidak sebesar itu. Cukup dengan menjadi band rata-rata. Pearl Jam hanya membuat satu lagu yang bagus (“Corduroy”), tetapi mereka juga mempunyai 19an lagu yang “hanya” sedikit lebih baik daripada lagu berkualitas so-so. Sebetulnya mereka bisa saja membuat tiga album lagi yang merupakan replika dari Ten, lantas menghabiskan sisa karir mereka dengan bersantai, memakan lobster dan berenang di kolam emas. Tapi mereka tidak melakukannya. Mereka tidak melakukannya karena mereka berpikir bahwa hal itu akan menjadikan mereka tidak disukai. You see, nice guys do not finish last, tapi nice guys finish in the middle.
Hal itu membawa kita ke Oasis, sebuah band yang berhasil melampaui kadar medioker mereka dan menjadi megalomania. Oasis adalah gambaran anti-Pearl Jam. Mereka tidak bersikap baik kepada semua orang, termasuk kepada mereka sendiri. “Itu karena Oasis dipenuhi dengan macam-macam ketegangan yang tumbuh dari hubungan aneh Gallagher bersaudara ,” tulis Jonathan Bernstein,“ yang patut dipertanyakan apakah band tersebut bakal berkembang?” Oasis (ternyata) benar-benar berkembang; mereka berkembang menjadi keras kepala, dan semakin susah untuk membawa mereka semakin serius. Tapi akan lebih susah untuk mendebat karya musikal mereka; dimana ketika Pearl Jam hanya membuat satu lagu yang benar-benar bagus, Noel Gallagher paling tidak membuat tiga lagu yang bagus di Definitley Maybe. Dan dia terus membuat karya yang bagus. “Acquiesce” sangat hebat hampir tiga kali lebih bagus dari lagu-lagu terbaik Definitely Maybe, sementara “Don’t Look Back in Anger” lebih bagus sebelas kalinya. Semua orang mungkin berpikir jika Be Here Now kurang rapi, tapi album tersebut tetap saja jauh lebih keren dibanding semua album yang dikeluarkan Blur. Bahkan Oasis menghasilkan dua dari tiga album Britpop paling menonjol yang dirilis sepanjang dekade 90-an. Jadi di sini kita bertanya-tanya: Siapa yang lebih baik? Pearl Jam yang sukses mengubah diri menjadi band medioker, sesuai dengan keinginan mereka sendiri, atau Oasis yang “kebetulan” menjadi rockstar? Baik Eddie atau Noel sama-sama mengagumi Neil Young, sosok yang juga ditanya dengan pertanyaan serupa di tahun 1979: pilih mana, antara menghilang tiba-tiba atau berangsur menghilang? Segalanya berubah.
Dan ada (pula) yang tidak berubah.
No comments:
Post a Comment