Saturday, July 01, 2006
Playlist Refreshing: June 2006
Tuesday, May 02, 2006
Album Baru Pearl Jam
Sunday, April 30, 2006
Coduroy
Friday, April 28, 2006
Pearl Jam Comes Alive
Oleh: Lorraine Ali (Newsweek - Mei 2006)
Eddie Vedder masih juga menulis dengan menggunakan mesin ketik manual. Dirinya juga tetap menyimpan surat dan arsip-arsipnya di dalam sebuah tas tua buatan perang. Kartu-kartu kredit Vedder juga masih tersimpan dalam dompet plastik Batman-nya, sementara sepatunya masih memakai sepatu boot tua dan sepasang kaos kaki warna biru. Tidak ada yang berubah, seperti juga keengganannya untuk membicarakan segala sesuatu tentang Pearl Jam. Dia lebih suka bicara tentang politik. The same ol' Vedder, meski sekarang statusnya telah meningkat sebagai seorang ayah dari putri berusia 21 bulan, yang suka menyanyikan lagu single terbaru ayahnya itu, World Wide Suicide, di playgroup-nya. "Dia suka menari sambil melantunkan 'Suicide, Suicide'." kata Vedder, "Dan itu membuat saya penasaran apa yang ada di benak orang tua murid lainnya." Sungguh pribadi yang sangat sederhana, jika kita menengok kembali rentang panjang karirnya bersama band-nya Pearl Jam. Pearl Jam adalah band yang selalu menjaga privasi mereka. Setelah sukses di debut album perdana mereka, Ten (1991) -dengan angka penjualan sebesar 10 juta kopi sampai saat ini, band asal Seattle tersebut justru menolak segala bentuk eksploitasi. Menolak endorsement, kecuali untuk peralatan musik, dan tidak pernah melakukan promosi yang berlebihan, termasuk tidak membuat video-klip yang saat ini sangat terbukti mendongkrak harga jual artis. Ditambah dengan fakta bahwa album mereka cenderung selalu menurun hype-nya dibandingkan album-album pada awalnya (coba Anda sebutkan apa judul dua album terakhir Pearl Jam!). Meski melawan arus industrialisasi musik, Pearl Jam tetap dianggap sebagai band yang "penting" dewasa ini (atau justru karena mereka melawan-kah?). "Hal yang mengancam adalah justru standar normalisasi kehidupan manusia di dunia sekarang ini," ujar Vedder (41 tahun), di markas Pearl Jam yang berada di luar kota Seattle. "Ketika kita mulai melihat identitas hanya berdasarkan persepsi publik, apa yang diinginkan publik. Hal ini sangat sering saya lihat. Banyak orang yang melakukannya, dan beberapa diantaranya sangat meyakinkan, dengan imej mereka terhadap publik. Saya sendiri? Saya memilih untuk melakukan kebalikannya.'
Dan apa yang dikatakan Vedder tersebut bisa kita dengarkan dari nyanyiannya di album terbaru Pearl Jam. Album tersebut adalah album mereka yang ke-8, dan yang pertama dirilis di bawah J Records (label yang merilis album-album Alicia Keys dan Chris Brown). Album ini juga merupakan album yang paling spontan dirilis sejak album ketiga mereka, Vitalogy (1994). Masih adakah yang mendengarkan lagu-lagu Pearl Jam? Sejauh ini sih, masih. Radio mulai memutar kembali lagu Pearl Jam, dengan singel World Wide Suicide bertengger di puncak tangga lagu modern rock Billboard. Dan frekuensi airplay-nya lumayan banyak untuk singel perdana dari album yang rencana dirilis 2 Mei ini.
Seperti yang kita duga, bahwa Pearl Jam sebetulnya agak terganggu dengan frekuensi pemberitaan dan perhatian menyusul keberhasilan singel mereka tersebut. Di sebuah gudang tua, yang juga merupakan kantor TenClub dan ratusan reel rekaman Pearl jam, para personil Pearl Jam tengah berbaris menunggu sesi foto. Sambil terdiam, seperti halnya tahanan yang menunggu regu tembak menyiapkan amunisi. Sukses sebelumnya, dengan puluhan konser keliling dunia telah menahbiskan Pearl Jam sebagai band yang punya banyak fans. Pertanyaannya: perlukah mereka menjalani ritual promosi seperti itu lagi? Jawabannya ternyata bersifat politis. "Sudah cukup banyak suara-suara yang berisi frustrasi dan kemarahan mengisi atmosfer bumi sekarang ini," tukas Vedder (seorang perokok aktif, meski kualitas vokalnya seakan tidak pernah terpengaruh oleh hal itu). "Kita tidak ingin menambah polusi suara tersebut, tapi lebih ingin berbuat sesuatu. Sekarang bukan waktunya untuk bersikap sinis. Lihat saja, pajak kita dulunya untuk membiayai perang dan sekarang digunakan untuk membiayai perusahaan-perusahaan besar -salah satunya milik Dick Cheney- dan makin tajamnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Hal-hal seperti itulah yang sangat menyakiti perasaan saya." Sambil tertawa, Vedder menambahkan. "Tapi hal itu juga membuat saya berasa awet muda."
Album baru Pearl Jam masih tetap melancarkan serangan-serangan atas pemerintahan Bush. Album tersebut juga merupakan perpaduan sebuah album rock n roll (yang menunjukkan akar classic rock dan gunge/punk mereka) dengan pandangan politik Vedder. "There is a sickness, a sickness coming over me/Like watching freedom being sucked straight out to sea." Vedder lebih banyak memberikan sebuah gambaran sosial daripada menyampaikan ide-idenya. Di dalam lagu Unemployable, Vedder menggambarkan seorang buruh yang tengah frustrasi karena baru saja dipecat, dan mempertanyakan di mana agama berada ketika orang seperti mereka ada di situasi seperti itu. "Musik, paling bagus ketika bisa menemukan tujuannya." ujar Vedder. "Di masa-masa sekarang, dimana semuanya serba formalitas dan kepalsuan, tujuan kita adalah 'Kita akan membuat seperti ini.' Dan sepertinya itu menjadi landasan yang bagus."
Pearl Jam selalu memiliki tujuan. Mulai dari perang melawan Ticketmaster di tahun 1994 -di mana gitaris Stone Gossard dan bassis Jeff Ament bersaksi di hadapan kongres menuntut penyelidikan antitrust atas Ticketmaster- sampai 2004 lalu selama tur Vote for Change. Pearl Jam dibentuk pada saat isu tentang perang teluk pertama tengah hangat di tahun 1991. Vedder, yang saat itu berumur 24 tahun tinggal di San Diego. Dia menerima demo dari Gossard, Ament dan juga gitaris Mike McCready. Vedder kemudian mengirimkan kembali demonya ke Gossard di Seattle setelah menambahkan vokalnya di dalam kaset tersebut. Seattle, saat itu, adalah suatu tempat di mana band-band underdog seperti Nirvana dan Soundgarden tengah sukses digaet oleh major label. "Ada semacam elemen kultural yang terjadi di Seattle, sebetulnya. Dan itu tidak ada hubungannya dengan label rekaman sama sekali," tukas drummer Matt Cameron, yang bergabung bersama Soundgarden sebelum masuk ke Pearl Jam di tahun 1998. "Itu adalah ground zero, di mana orang dari penjuru Amerika tiba-tiba datang dan berharap menjual berjuta-juta kopi. Hal itu adalah evolusi yang alamiah, dan saya pikir momen seperti itu belum pernah terjadi lagi."
Tapi scene tersebut juga terbukti berdampak negatif, berupa penggunaan heroin secara serampangan, dan etos yang diyakini benar oleh musisi-musisi Seattle: lebih baik mati mendadak daripada mati pelan-pelan (meski bukan etos yang familiar di dunia rock n roll, tetapi band-band asal Seattle sepertinya sangat memegang teguh keyakinan tersebut). Pearl Jam adalah salah satu diantara (sangat) sedikit band yang masih tetap berdiri saat ini. "Stone dan saya banyak melakukan kesalahan saat masih di band lama kami, Mother Love Bone," ujar Ament, "dan itu bisa disimpulkan ketika Andy [Wood, vokalis MLB] meninggal. Saat itu kita sudah dikontrak major label, dan mereka sudah mengeluarkan 300.000 dollar untuk biaya rekaman, serta keperluan promo. Setelah Andy meninggal, kita masih menyisakan hutang sebesar 40.000 dollar kepada label sementara kita sudah tidak lagi punya uang. Saya pikir, kalo misalnya nanti ada kesempatan untuk bikin band lagi, kita tidak bakalan melakukan kesalahan yang sama. Untungnya, album pertama Pearl Jam sukses, dan dengan demikian mereka (major label) bisa tetap memperbolehkan kita meneruskan langkah kita selanjutnya, secara bebas. Dari situlah konsep band kami terbentuk." Yang jelas, mereka sekarang menjadi seperti apa yang dikatakan Vedder: moderat. "Seperti: 'Maaf, kita terlalu populer.' 'Maaf, saya juga lebih suka Mudhoney dibanding dengan band kita sendiri'." Mereka mencoba berbagi "kesejahteraan" yang mereka dapat dengan mengalihkan pendengar mereka ke musik dari band/orang lain. Melakukan tur dengan beberapa band-band kecil lain, serta melakukan siaran radio sendiri.
Prinsip survival dan berbagi semacam itu kini bukan lagi menjadi permasalahan utama bagi band. Menghindarnya Pearl Jam dari gemerlapnya dunia industri musik, penolakan status rockstar, membuat album yang makin idealis serta peran Vedder dalam aktivitas politisnya justru makin membuat tebal fanatisme fans mereka -meski secara keseluruhan jumlah penggemar yang tidak fanatik bisa dibilang menurun; dan juga fakta bahwa angka penjualan album terakhir (Riot Act) hanya sepersepuluh dari penjualan Ten. Apakah Vedder risau dengan hal-hal seperti itu? Jawabnya: "Jika kita bisa survive dan tetap bermain musik, membuat album dan melakukan konser...serta menghidupi keluarga kita, membahagiakan komunitas kita (fans) dan juga teman-teman kita sendiri -di situlah tujuannya. Jika kita mampu mencapainya dalam keadaan industri musik seperti saat ini, itu akan jauh lebih baik. Mungkin bisa juga sebagai pertanda bahwa industri musik belum sepenuhnya "tercemar" oleh nilai-nilai komersialisme."
Dengan kata lain, semuanya bukan melulu tentang uang -meski pendapat Vedder tentang "surviving" sama dengan asumsi kita tentang uang yang banyak- dan juga belum tentu tentang politik. It's all about the music, dan hanya sedikit musisi yang mampu menerjemahkan konsep itu sebaik Vedder dengan idealisme transedental-nya tentang proses kreatif dan inspirasi bermusik. "Saya membayangkan ada semacam "sorotan" ketika sebuah muncul," ujarnya, "dan jika kita tidak sesegera mungkin menerjemahkan ide tersebut, mungkin (ide tersebut) akan berubah menjadi sesuatu yang bukan seperti bayangan kita semula. Apa yang mungkin bisa membuat ide tersebut jadi bagus, malah nantinya hilang. Dan mungkin juga masih bagus, tapi sekali "sorotan" itu mengenai otak kita -ya sudah. Kita harus melindunginya terlebih dahulu sebelum segala "sorotan" itu tiba."
Vedder juga berpendapat: "Bagi saya, menyelesaikan album ini adalah pencapaian yang sangat melegakan. Otak saya sudah seperti iPod, minus earphone -banyak ide dan musik di sana, yang menunggu untuk "disalurkan. Ketika rekaman selesai, rasanya (ide dan musik) sudah tersalurkan. Saya juga punya puteri berumur 21 bulan, dan tentunya saya tidak akan membiarkan dirinya tumbuh liar, dengan ayahnya yang seperti professor gila ini. Seromantis mungkin, saya pikir dia juga berhak yang terbaik dari saya." Pearl Jam yang dulunya bermasalah dengan persoalan seputar ketenaran dan uang, sekarang permasalahan mereka adalah banyaknya inspirasi yang harus disalurkan. Dan dengan seperti itupun mereka masih sangat bagus, jadi sungguh memalukan bagi kita yang berpendapat segala sesuatunya (dalam hidup) adalah serba-susah.
Tuesday, April 25, 2006
TIME's Controversial Article 1993
***
TIME, October 25, 1993 Issue p.60 (Cover Story)
Rock's Anxious Rebels
A young, vibrant alternative scene has turned music on its ear. But are the new stars too hot to be cool?
By Christopher John Farley
---
Inilah cerita tentang petugas pom bensin dan siswa DO dari SMA yang mampu menghasilkan lebih dari 50 juta dollar bagi perusahaan rekaman, serta menempatkannya di tengah-tengah kebisingan jagat rock n roll.
Hanya berselang tiga tahun lalu, Eddie Vedder (28 tahun) masih bekerja di shift malam sebuah pompa bensin di San Diego. Kadang juga mengatakan jika dirinya dulu bekerja sebagai satpam agar tampak lebih mengesankan. Tapi dia sudah tidak perlu kuatir lagi tentang hal-hal tersebut, di mana dirinya telah menjadi "dewa" bagi dunia rock lantaran posisinya sebagai penyanyi dan penulis lirik untuk band Pearl Jam. Album debut band-nya, Ten, telah menjual kurang lebih 6 juta kopi dan bercokol di Top30 chart album Billboard selama lebih dari 90 minggu setelah dirilis. Minggu ini, kuintet asal Seattle tersebut akan merilis album keduanya, bertitel Vs, yang diharapkan menjadi salah satu album dengan penjualan terbaik tahun ini.
Rock n Roll' Hall of Fame belum selesai dibangun di Cleveland, Ohio. Tapi jika sudah selesai, sebaiknya mereka mulai menyiapkan salah satu ruangannya untuk Vedder. Dia memiliki semua persyaratan sebagai rockstar. Apakah dirinya memiliki pengalaman tragis di masa lalu? Yap. Apakah dia memiliki selera yang edgy dan menarik secara sensual untuk dikupas, seperti halnya Jim Morrison? Tentu. Apakah dia menolak untuk terjerat stereotipikal seorang rockstar, yang tentunya akan membuat dia tampak sedikit lebih "asli"? Pasti. Apakah dia senang tampil sebagai cover majalah TIME? Tidak mungkin.
Vedder adalah produk dari mencuatnya dunia rock alternatif, sebuah genre musik yang menolak nilai-nilai komersial dari pop mainstream. Alternatif tidak memiliki definisi yang spesifik, tetapi bisa dirasakan. Musisi-musisinya rata-rata menolak hingar-bingar dunia showbiz. Mereka juga mendukung pergerakan-pergerakan sosial tertentu. Beberapa di antara mereka menolak untuk berpacaran dengan groupies atau model. Musik mereka biasanya berorientasi pada gitar, dengan beberapa sentuhan eksperimental. Liriknya juga lebih banyak bicara tentang perasaan-perasaan seperti: kekecewaan, tertekan dan kebingungan apabila dibandingkan dengan pendekatan musik pop yang lebih ke hal-hal percintaan. Rock alternatif adalah reaksi, terutama di antara generasi usia 20-an, setelah sekian lama dicekoki dengan hal-hal yang berhubungan dengan perubahan warna rambut Madonna atau liputan MTV tentang bokong George Michael.
Rock alternatif sendiri telah muncul selama beberapa tahun sebelum masa ini, dan selama itu tengah menunggu giliran untuk mencuat ke permukaan. Band asal Georgia, REM adalah pionir musik alternatif di pertengahan dekade 80-an yang naik ke mainstream bahkan sebelum Pearl Jam terbentuk. Tetapi kondisi sekarang adalah band-band rock alternatif tengah memenuhi tangga-tangga lagu, mulai dari kuartet arty-rock Smashing Pumpkins sampai ke yang berbau folk macam Soul Asylum. Program MTV's Alternative Nation dan tur festival Lollapalooza, yang menampilkan band-band baru tersebut, menjadi ajang yang sangat populer pada waktu itu.
Dan di situlah letak kontroversinya: msuik alternatif sekarang menjadi kekuatan paling besar dari dunia musik mainstream. Hal itu memicu krisis identitas dan kerancuan antara musisi-musisi dan juga penggemarnya. Para penggemar akan terus berpikir jika para musisi-musisi tersebut sekarang menjadi seorang rockstar, bukankah berarti mereka menjadi objek yang kita benci sebelumnya? Dan dari hal itu, tidak ada yang lebih baik untuk diangkat menjadi cermin kasus pergulatan idealisme musik alternatif tersebut daripada kisah sukses Pearl Jam. Band yang digandrungi banyak orang, tetapi kurang disukai kalangan musisi sendiri karena memandang Pearl Jam sebagai band yang komersil dan oportunis, memanfaatkan ketenaran sesama band Seattle lain, Nirvana. Frontman Nirvana, Kurt Cobain menyebut band seperti Pearl Jam sebagai band yang nebeng popularitas musik alternatif. Cobain dan band-nya baru saja merilis album baru, In Utero, yang bisa dibilang sukses (tiga minggu setelah dirilis, album tersebut bertengger di peringkat 3 tangga lagu Billboard).
Vedder, yang sebelumnya telah banyak mengungkapkan tentang konflik batinnya, seakan ditahbiskan dari apa yang dulunya "pecundang" kini menjadi idola. "Tiap kali ada kesuksesan yang datang secepat kilat, seperti sukses band kami, tentu akan memicu keresahan-keresahan di dalam diri kita," ujar Vedder pada koran Inggris Melody Maker. "Saya mengalami banyak kesulitan untuk mengenali diri saya. Saya berkata sejujurnya: bahwa ketika saya melihat gambar dari band atau gambar saya di sebuah halaman majalah, saya sangat membenci orang (yang ada di halaman) itu."
Untuk menjaga tradisi musik rock, alternatif telah berkata dengan jelas bahwa kuncinya adalah dengan memberontak. Musisi dan juga penggemarnya rata-rata akan berpendapat bahwa hidup itu tidak adil, dan hal itu telah tertanam sejak usia mereka masih rawan untuk menerima kenyataan hidup. Musik alternatif adalah suara dari broken-home. Jika kita adalah remaja atau berusia 20-an, kemungkinan orang tua kita sudah bercerai. Musik alternatif lantas menjadi soundtrack emosional bagi kondisi tersebut, dan mengungkapkan secara tegas tentang isu "ke-terlantar-an" dan ketidakadilan yang pelik. "I tried to have a father/But instead I had a dad," demikian yang dinyanyikan Kurt Cobain dalam In Utero. Salah satu lagu paling terkenal dari Pearl Jam, Jeremy, adalah lagu tentang seorang anak kecil yang menembak dirinya sendiri di dalam kelasnya: "Daddy didn't give attention/To the fact that Mommy didn't care." Kepekaan Pearl Jam untuk mengungkapkan "kemarahan" tersebut menyejajarkan mereka dengan band seperti The Who atau U2.
Akankah mereka bisa melalui tahap "hype" ini? Sementara Pearl Jam, Nirvana dan yang lainnya tengah berjuang untuk menyampaikan ekspresinya, para pengamat tren juga tengah mengamati mereka selama dua tahun belakangan. Para pengamat tren tersebut lebih tertarik untuk mengulas bagaimana cara mereka berpakaian dan scene Seattle tempat mereka berasal. Gaya berpakaian mereka yang kemudian dikenal nama gaya Grungy dicirikan oleh kemeja flanel dan jaket Corduroy yang agak lusuh dan robek-robek. Pada salah satu sesi foto, majalah Vanity Fair bahkan mendandani kaum elit dan selebritis Manhattan dengan flanel dan jeans. Eksploitasi seperti inilah yang membuat risih generasi muda Amerika terhadap kata "grunge". Tetapi band seperti Pearl Jam telah memberikan perlawanan terhadap eksploitasi semacam itu, dengan lebih menekankan apresiasi terhadap musik mereka ketimbang gaya berpakian mereka.
Dalam kerangka pengaruh, musisi-musisi alternatif diilhami oleh gerakan-gerakan di dalam sejarah rock. Dekade 60-an memunculkan semangat protes sosial dan kebebasan berekspresi. Sementara di kahir dekade 70-an memunculkan semangat do-it-yourself (d.i.y) dari kultur punk termasuk di dalamnya slam-dancing dan stage-diving yang diangkat kembali oleh musik alternatif. "Kita meniru segalanya kok," ujar Shannon Hoon, lead singer Blind Melon, yang telah menjual lebih dari satu juta kopi dari album debutnya tahun ini. Trik-nya adalah meniru riff-riff dari musisi yang telah lama dan akan terdengar baru bagi khasanah musik modern. Bahkan band teatrikal Kiss, yang anggotanya memakai make-up di panggung, termasuk salah satu pengaruh bagi beberapa musisi-musisi alternatif saat ini. "Saya sangat suka dengan God of Thunder, Gene Simmons (bassist Kiss, ed)," kata Kat Bjelland, lead singer dari grup punk cewek Babes in Toyland. "Mereka berpengaruh karena mereka sangat orisinil, dan juga sangat evil!"
Rocker alternatif akan berhati-hati untuk menyatakan mengambil referensi dari musisi lain karena secara orisinal, sound yang mereka hasilkan (secara independen) lebih bisa dibanggakan sebagai representasi d.i.y meski jauh dari standar perusahaan rekaman. "Saya tidak suka dilabeli," tukas rocker alternatif Juliana Hatfield, seorang cewek manis dengan suara yang girlish dan gitar yang menyalak. "Tapi jika kalian ingin melabeli saya pada kategori tersebut (alternatif) juga ngga apa, soalnya dimasukkan ke label alternatif berarti ada sedikit respek untuk musik saya. Itu berarti kita telah melakukan sesuatu sesuai dengan kemauan kita, etos kerja d.i.y."
Vedder Listened to the Tape, Then He Went Surfing. Lyrics Came to Him.
Pergerakan alternatif dipengaruhi oleh inisiatif beberapa label indie yang menjamur di era 80an, ketika major label hanya fokus kepada musisi seperti Bruce Sringsteen dan Madonna. Label Sub Pop di Seattle juga berdiri di masa ini, 1986, untuk menangkan esensi pergerakan musik alternatif, kemudian memasarkannya dan siap untuk mengentaskan musik alternatif ke jenjang yang lebih tinggi. Pendiri Sub Pop, Jonathan Poneman dan Bruce Pavitt menggambarkan label mereka sebagai Motown dalam skala kecil untuk kawasan Northwest. "Permasalahan industri musik di tahun 80-an adalah ketika major label tidak banyak memberi kesempatan kepada ide-ide bermusik yang termasuk baru," kata Pavitt, yang sebelumnya bekerja untuk perusahaan musik Muzak.
Sub Pop memliki "telinga" yang jeli. Mereka memproduksi beberapa band yang sukses secara nasional pada album pertama mereka: Nirvana, Smashing Pumpkins, Soundgarden dan Alice in Chains. Tidak lama kemudian, band-band tersebut menjadi terkenal, dan berpindah ke major label. Major label menjadikan label-label indie sebagai pemasok mereka, setelah salah satu band terbaik Sub Pop: Nirvana beralih dari label tersebut ke Geffen pasca terjualnya Nevermind sejumlah 4 juta kopi. Band-band yang biasanya bermain di klub kecil tiba-tiba ditawari kontrak senilai 300.000 dollar. Fenomena ini juga ditengarai dengan menurunnya musik mainstream saat itu yang tentu membuka kesempatan bagi musisi alternatif untuk menarik perhatian label mainstream.
Pearl Jam, secara kebetulan, terbentuk dari sisa-sisa band Sub Pop yang bernama Green River. Legenda rock yang pecah gara-gara perbedaan konsep bermusik. Bassis Jeff Ament dan gitaris Stone Gossard keluar dari band gara-gara berbeda pendapat dengan lead vocalist mereka yang tetap ingin bereksperimen sebagai jiwa sejati musik alternatif. Sementara, Ament dan Gossard ingin mengejar ambisi menjadi rockstar. Band bentukan Ament dan Gossard selanjutnya, Mother Love Bone, menggabungkan sound heavy metal dengan nada easy-listening. Ketika band ini mulai berkembang ke popularitas mainstream di tahun 1990, lead singer-nya meninggal karena overdosis heroin.
Kemudian masuk Eddie Vedder, yang saat itu tinggal di San Diego, menjadi frontman dari band yang bernama unik -entah rekayasanya atau tidak- Bad Radio. Seorang rekannya memberikan kaset yang dilabeli "DEMO STONE GOSSARD '91", dan mengatakan kepada Vedder bahwa gitaris band dalam kaset itu tengah mencari penyanyi. Vedder mendengarkan kaset tersebut, kemudian pergi surfing dan mendapatkan inspirasi lirik di tengah-tengah surfing. "Son she said/Have I got a little story for you." Vedder segera kembali ke apartemennya, dan menulis tiga buah lagu serta menyanyikannya langsung dengan musik dari kaset demo Gossard. Dia kemudian mengirim rekaman tersebut ke Seattle. Bassis Jeff Ament mendengarkan dengan seksama, dan terkesan dengan suara growl musisi asal California tersebut. Dia mengungkapkan di Rolling Stone, bahwa dia sempat memutar rekaman tersebut tiga kali sebelum kemudian menelpon, "Stone," ujar Ament di telepon, "sebaiknya kamu ke sini sekarang."
Salah satu dari lagu-lagu tersebut nantinya akan menjadi Alive, lagu Pearl Jam paling hit. Lagunya bercerita tentang seorang ibu yang mengabarkan sebuah berita buruk bagi anaknya: "While you were sitting home alone at age thirteen/Your real daddy was dying." Emosi dari lagu Alive tersebut berasal dari kisah hidup Vedder sendiri. Vedder lahir di Chicago, sulung dari empat bersaudara. Rekaman pertama yang disukainya adalah rekaman-rekamana Motown, beberapa lagu dari Michael Jackson waktu masih muda. Kemudian beralih ke lagu-lagu Neil Young, dan berlanjut ke Quadrophenia dari the Who. Album Quadrophenia tersebut disebutnya sebagai sebuah cerminan dari trauma para remaja. Vedder tidak pernah mengenal ayah kandungnya. Dia dibesarkan oleh pria yang disangkanya sebagai ayah kandungnya, dan sering berselisih paham dengannya. Seiring dengan waktu, ibunya memberi tahu Vedder tentang fakta ayah kandungnya. Vedder kemudian pindah ke San Diego, dan ayah kandungnya diketahui kemudian hari bahwa dia meninggal karena komplikasi kanker sclerosis.
Vedder kemudian datang ke Seattle, menyusul rekaman yang dia berikan sebelumnya, di mana gitaris Mike McCready dan drummer Dave Krusen telah bergabung dalam lineup band (Krusen kemudian digantikan Dave Abruzzese). Band tersebut kemudian bergabung dengan major label kepunyaan Sony: Epic Records. Tetapi ketika album pertama tersebut rilis, di tahun 1991, personel Pearl Jam tengah berada di antara hiruk pikuk hype band-band dari Seattle. Nirvana terlebih dahulu melejit dengan lagu anthem mereka, Smells Like Teen Spirit. Ketika Pearl Jam kemudian menarik perhatian sebagai band besar dari Seattle setelah Nirvana, Kurt Cobain seolah keberatan untuk berbagi "sorotan" tersebut, dengan mengatakan Pearl Jam sebagai rockers yang kuno dan plagiat.
"Semua seolah ingin menjelek-jelekkan, hanya karena Pearl Jam sangat sukses waktu itu," ujar Eddie Roeser, lead singer band asal Chicago Urge Overkill. "Mereka (Pearl Jam) hanya ingin mencoba membuat musik yang jujur - bukan salah mereka dong, kalo lantas sukses secara komersial."
Ketenaran Pearl Jam dibangun dari lagu-lagu hits mereka semacam Alive, Even Flow dan Jeremy. Tetapi apa yang sebenarnya menempatkan mereka di jajaran papan atas adalah performa live mereka yang didominasi power vokal dan atraksi di atas panggung yang mempesona dari Eddie Vedder. Aksinya seolah mengingatkan kepada binatang liar yang lepas dari kandangnya. Di tahun-tahun pertama, dia sangat suka berbaur dengan penonton, crowd surfing di atas tangan penonton. Vedder juga pernah memanjat rangka panggung, dan bergelantungan di ketinggian yang ekstrim. Setelah itu dia masih sanggup berdiri di panggung memegang mik, mulai mengeluarkan emosinya bersama dengan lagu yang dinyanyikannya. "Saya sebetulnya agak males menonton gayanya (Vedder) menyanyi sambil bersedakap," tukas Kim Thayil dari Soundgarden ketika ditanya tentang pertama kali melihat Vedder menyanyi di sebuah klub di Seattle. "Tapi lagu yang dinyanyikan Eddie bisa sampai menggetarkan bulu kuduk." Pearl Jam menegaskan reputasinya sebagai band besar pada Agustus(1993) lalu di gelaran MTV Video Music Awards, di mana band tersebut sanggup menyabet empat penghargaan dari nominasi di lima kategori, termasuk "Best Video of the Year" untuk Jeremy, serta tampil bersama Neil Young untuk menyanyikan versi dahsyat dari lagi Neil Young, Rockin in the Free World.
Album baru Pearl Jam, yang penuh dengan konfrontasi buas, bertitel Five Against One sebelum akhirnya diganti pada saat-saat akhir dengan titel Vs (hasilnya, beberapa cetakan pertama masih menggunakan titel lama). Album baru tersebut menggabungkan perspektif dan kritik politis dengan pemberontakan ala-punk. Musiknya terdiri dari lapisan-lapisan gitar dan perkusi. Sementara nada-nya banyak menggunakan power heavy metal tetapi masih melodis untuk dinikmati sebagai karya pop yang prima. Beberapa lagu didalamnya bercerita tentang kritik tajam untuk budaya masyarakat patriarki. Glorified G misalnya, menyerang perilaku masyarakat rural dengan budaya senjata-nya: "Got a gun/Fact I got two/That's okay man, 'cause I love God." Lagu W.M.A juga merupakan kritik terhadap kasus kejahatan rasial yang populer waktu itu, ketika seorang berkulit hitam bernama Malice Green dipukuli sampai mati dengan senter oleh sekelompok oknum dari kepolisian Detroit. "White Male American/Do no wrong," demikian lantunan lagunya. "Dirty his hands it comes right off."
Ironisnya, inisial W.M.A tersebut juga bisa dilabelkan untuk golongan masyarakat yang membeli album-album Pearl Jam. Malah, itu juga bisa dilabelkan untuk band-nya sendiri, dan juga sebagian besar pelaku scene rock alternatif, meski musisi perempuan juga mulai bermunculan. Di liner note album kompilasi Nirvana, Incesticide, lead singer Kurt Cobain menuliskan, "Jika di antara kalian ada yang benci dengan homoseksual, orang-orang dengan warna kulit yang berbeda, atau kepada wanita, tolong lakukan hal ini - leave us the f___ alone!" Dan Scott Weiland, penyanyi berambut pirang untuk band Stone Temple Pilots - band pendatang baru yang "mirip" grunge yang mempunyai sebuah lagu anti-pemerkosaan berjudul Sex Type Thing - mengaku merasa terganggu ketika melihat sekelompok pemuda golongan menegah ke atas yang keren di konsernya, seperti halnya kelompok anak muda yang sering memukulinya di masa SMA dulu.
Musisi alternatif kebanyakan rendah hati, berbeda dengan musisi-musisi "white-male-rock" di dekade sebelumnya. Mereka (musisi alternatif) cenderung berprinsip anti-sexist, pro-tolerance dan pro-underdog, baik itu untuk hak-hak manusia atau lingkungan. Demikian juga dengan musisi alternatif dari kalangan perempuan. Ketika Liz Phair, seorang penyanyi intelektual berumur 26 tahun dari Chicago, menyanyikan lagu-lagu eksplisit dari album debut Exile from Guyville di hadapan orang tuanya, dia terkejut dengan reaksi keduanya. "Pertama kali ibu saya mendengarkannya, dia menangis," kata Phair. "Bukan karena dia shock, tapi lebih karena dia mendengarkan sesuatu yang sangat menghibur dari puteri-nya."
Banyak musisi-musisi alternatif yang mencoba melebarkan pangsa demografisnya dengan membuka musik mereka untuk lebih inklusif. Roadshow tahunan bertajuk Lollapalooza yang sangat membantu musisi lokal ke kancah nasional, mulai menampilkan aksi dari musik rap seperti Arrested Development atau Ice Cube. "Banyak anak-anak kulit putih yang enggan datang ke show anak-anak kulit hitam," ujar Ted Gardener, produser Lollapalooza. "Mereka akan membeli albumnya, tapi nggak akan nonton band-nya. Mereka takut kalau terjadi apa-apa yang bisa membahayakan nyawanya. Dan beberapa anak-anak kulit hitam juga merasakan hal yang sama tentang show anak-anak kulit putih. Kita sedang mengusahakan untuk membuat suatu genre musik baru yang memadukan keduanya." Soundtrack dari film Judgement Night menampilkan kolaborasi rapper Sir-Mix-A-Lot dengan band alternatif Mudhoney. "Alternatif dan rap tumbuh karena hal yang sama," kata Sir-Mix-A-Lot. "Kita sama-sama melakukan pertama kali di basement dan terus tumbuh keluar sampai menarik perhatian major label."
Meski demikian, akan selalu ada tuduhan hipokrit terhadap gerakan-gerakan yang menyanjung tinggi kemurnian dan anti-komersialisme. Terutama jika sudah menyangkut banyak uang. Pergerakan musik alternatif juga demikian, dengan mulai mengalami pergeseran dari ide-ide semula yang melandasinya: semangat anti-kemapanan, dan semangat membuat musik untuk menyalurkan ekspresi jiwanya. "Mereka sangat menarik bagi kami, karena dunia tempat generasi kami bisa dibilang sudah mati. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan harapan selepas sekolah nantinya," kata Bonnie O' Shea, pelajar dan sekaligus DJ di sebuah Universitas Negeri Oneonta, New York. Tetapi ketika 5 juta orang membeli sebuah album, itu sudah menjadi seperti barang reject. Beberapa di antara mereka mungkin menjadi fans Rush Limbaugh, hanya karena suka dengan beat-nya. "Saya pikir fans-fans baru (musik alternatif) itu ngga pada ngerti apa yang mereka dengerin," lanjut O'Shea. "Saya harap ini cuman sebentar, soalnya saya pengen musik favorit saya itu kembali."
Memangnya ini musik siapa? Orang biasanya akan mencari tahu apa yang disuka oleh anak-anak, menggandakannya (atau membuat replikanya) dan kemudian menjualnya lagi kepada mereka. Apakah anak-anak suka rap? Mari kita beri Vanilla Ice! Biasanya produk hasil replika yang berorientasi pada anak muda menjadi terlalu "jelas meniru" produk aslinya. Cocok memang. Tapi begitu anak muda beranjak dewasa, dia akan segera tahu mana yang asli dan mana produk replika. Begitu pula dengan musik alternatif. Segera muncul perdebatan tentang mana yang asli dan mana yang replika. Seperti percakapan berikut yang diambil dari serial animasi MTV, Beavis and Butt-head.
Beavis (sambil melihat video Plush dari Stone Temple Pilots): Apakah ini Pearl Jam?
Butt-head: Wajahnya didandanin mirip Eddie Vedder.
Beavis: Nggak, Eddie Vedder yang dandan mirip dia.
Butt-head: Band ini keluar duluan kok, dan Pearl Jam niru mereka.
Beavis: Ngga. Pearl Jam duluan.
Butt-head: Well, they both suck.
Orang-orang di komunitas indie mulai khawatir jika pergerakan musik alternatif akan ditunggangi oleh mainstream. "Salah satu yang saya pikir sangat berpengaruh negatif terhadap etos underground," ujar Bill Wyman, kolumnis koran alternatif di Chicago, "adalah pudarnya semangat yang dulu ada di 'scene lokal kita', tempat dimana kita bisa bermain dengan bebas, ngga ingin punya banyak fans, ngga ingin dikontrak major label dan ngga keren kalo populer atau mempublikasikan band kita."
Kurt Cobain dari Nirvana pernah menulis sebuah lagu berjudul School yang memberi perspektif konyolnya scene alternatif. "You're in high school again! No recess!" Seperti halnya di sekolah, beberapa gaya yang dikategorikan sebagai "keren". Di kancah musik alternatif apa yang tidak sesuai kemudian dicemooh. Tahun ini pula, band yang banyak dipuji, Smashing Pumpkins mengeluarkan singel berjudul Cherub Rock, sebuah kritik tajam terhadap dogmatisme musik alternatif: "Stay cool/And be somebody's fool this year."
"Banyak parameter yang menungkapkan bahwa orientasi komunitas musik alternatif adalah mengkritik masyarakat," tandas Billy Corgan, vokalis Smashing Pumpkins. "Dan juga, itu kaya kembali ke masa SMA...'gue ngga suka baju lo'. Hal-hal seperti itulah yang menjadi stigma musik alternatif."
Bila band-band alternatif terus membanjiri kancah musik mainstream, maka mungkin kata "alternatif" itu sendiri sudah tidak tepat lagi. Seperti halnya "progressive rock" yang sudah tidak layak lagi digunakan selepas dekade 80-an. "Alternatif" telah menjadi alat marketing. "Lima menit yang lalu, saya melihat sebuah iklan Bud Dry: 'Bir Alternatif dengan rasa alternatif,'" ujar Jim Pitt, yang membuking tampil di program NBC: Late Night with Conan O'Brien. "Nggak lama lagi, kalian akan menemukan sebuah iklan dimana ada gambar orang moshing, 'Keluarlah dari mosh pit dan minumlah Buick.' Itu udah jadi daur-budaya masyarakat Amerika. Semuanya akan dieksploitasi."
Pearl Jam sekarang ada di dalam masa percobaan, dipaksa untuk membuktikan bahwa sukses mereka tidak merusak esensi mereka. Band dan label rekaman mereka segera merespon dengan membatasi kegiatan promosi, dan bahkan tidak membuat satupun video promo. Beberapa kritikus mengungkapkan bahwa anggota Pearl Jam tidak bisa menangani kesuksesan dengan baik. "Gue denger Eddie Vedder komplain tentang MTV. Kaya dia diiket aja waktu bikin video Jeremy atau dipaksa teken kontrak ke major label," gerutu VJ Alternative Nation yang bernama Kennedy. Dia menambahkan: "Jangan gigit tangan yang memberimu makan, dan jika kamu ngga laper, menjauhlah dari dapur."
Meski demikian, dalam beberapa hal, Vedder menunjukkan keseimbangan dari seorang surfer sejati. Dampak paling drastis dari dirinya hanyalah dia sekarang menenggak sebotol anggur ketika pentas. Dia masih bersama pacar yang sama sejak 9 tahun yang lalu, Beth Liebling. Bahkan perseteruan dengan Nirvana juga telah mereda. "Semua udah beres sekarang, hubungan kita baik-baik saja," ujar Vedder kepada Melody Maker.
Di album pertamanya, Eddie Vedder menulis lagu berjudul Release, yang liriknya mungkin berdasarkan pengalaman paling pahit dalam kehidupan Vedder. Bahkan terlalu pahit utuk ditulis di sleeve CD-nya. Liriknya menangkap esensi emosinya di masa lalu, dengan segala luka dan kontroversinya untuk berjalan menyambut masa kini dan masa depannya. "I'll ride the wave/ Where it takes me," nyanyi Vedder tentang ayah kandungnya yang meninggal. Menyampaikan statement bahwa meski dia adalah pribadi yang sama sekali berbeda, tetapi tidak mungkin melepaskan dari ikatan mereka orang tua dan anak dan sifat yang mungkin diwarisi ari ayahnya. "I'll hold the pain/ Release me." Itu adalah sikap yang sangat dewasa di dalam genre musik yang dikendalikan oleh nafsu-nafsu anak SMA. Jika dia tetap memelihara sikap seperti itu, maka dropout-an sekolah yang kini menjadi rockstar tersebut siap menjadi ketua kelas. -With reporting by Patrick E. Cole/Los Angeles and Lisa McLaughlin/New York.
Friday, March 31, 2006
Song Request: Blackbird
Blackbird
(Lennon/McCartney)
Blackbird singing in the dead of night
Take these broken wings and learn to fly.
All your life
You were only waiting for this moment to arise.
Blackbird singing in the dead of night
Take these sunken eyes and learn to see.
All your life
You were only waiting for this moment to be free.
Blackbird fly, Blackbird fly
Into the light of the dark black night.
Blackbird fly, Blackbird fly
Into the light of the dark black night.
Blackbird singing in the dead of night
Take these broken wings and learn to fly.
All your life
You were only waiting for this moment to arise
You were only waiting for this moment to arise
You were only waiting for this moment to arise
***
Salah satu lagu The Beatles yang paling gloom dan "dark". Blackbird adalah kiasan atau metafora dari kematian. Secara harafiah, Blackbird itu adalah burung gagak, yang konon akan bersuara kalo akan ada orang yang mati. Bait isi, bercerita cukup jelas tentang kematian. Dengan mengatakan: "all your life, you're only waiting for this moment to arise" (sepanjang hayat, kita hanya menunggu momen ini (kematian) datang). Mungkin secara sepihak, Blackbird bercerita tentang desperate-nya (seorang) manusia menghadapi kenyataan di dunia sehingga memilih bersiap menjemput ajal (waiting for this moment to be free).
Don't be afraid to die, cause it'll come no matter what!
All your life, we're only waiting for those moment to be free!
***
Requested by: Ikka (paravory@lycos.com)
Thursday, March 02, 2006
Pearl Jam 8th Studio Album
Persiapan rilis album baru ini juga diikuti dengan perubahan layout dan desain pada website resmi Pearl Jam (www.pearljam.com). Tema lama yang merupakan kesatuan kode desain dengan konsep desain "Riot Act" (gambar dark-gloom tengkorak) diganti menjadi desain dengan artwork yang brilian (meski bagi beberapa orang relatif familiar dengan model desain dari AmesBros*). Background tiap halaman bisa dinikmati dengan fitur "reveal background" sehingga pengunjung site bisa dengan bebas melihat artwork-artwork tersebut di tiap halaman. Berikut gambar atau artwork yang sudah di- revealed**, sehingga bisa langsung dipasang di desktop atau dijadikan avatar (just click-away)!
Can't wait for May 2nd!
*AmesBros, biro desain grafis milik Barry Ament, kakak (atau adik?) dari bassist Pearl Jam, Jeff Ament, yang sering terlibat dalam penggarapan grafis Pearl Jam mulai dari artwork sleeve CD, bonus TenCLub, dll.
**Thanks to aNiMaL from Pearl Jam world Forum!
Wednesday, March 01, 2006
20 Album Grunge/New Wave Sepanjang Masa
01. Pearl Jam: Ten
-----------------------------------------------------------
"Undoubtedly one of the greatest first albums of all time. These Seattle boys sure know how to rock."
Part of the '90s Seattle grunge triumvirate completed by Nirvana and Soundgarden, Pearl Jam debuted with Ten, their most accessible, least self-conscious album. Over time, PJ's rep as a politically correct band just a little too above it all to prostitute its music on MTV has nearly superseded the music. But before that, they were a simply an in-your-face, in-your-head, loud, melodic rock band. And lead singer Eddie Vedder was known for his possessed stage presence and a primal growl that sounded like it required three vocal chords. The personal, narrative singles "Alive," "Jeremy," and "Even Flow" catapulted the reluctant band into the 10-million-plus-sales division. Subsequent albums are more intricate, subtle, thematically complex, and, in many ways, better than Ten. But the band may never repeat the stampede caused by this debut. --Beth Bessmer
-----------------------------------------------------------
02. Nirvana: Nevermind
03. Soundgarden: Badmotorfinger
04. Radiohead: OK Computer
05. Beck: Odelay
06. Foo Fighters: Foo Fighters
07. Alice in Chains: Dirt
-----------------------------------------------------------
"Definitely one of the bands with the "negative, down on oneself" Seattle sound."
Alice in Chains were initially tagged with the "grunge" moniker, when in fact their haunting, ponderous sound was far closer to the progressive rock of Queensryche. Their second album, Dirt, is a moody, portentous affair, filled with occasionally inspired riffing from guitarist Jerry Cantrell and hair-tossed wailing from singer Layne Staley. Perhaps the band got lumped in with Generation X because their lyrics focused upon depression, death, and drugs. Certainly, titles such as "Down in a Hole," "Junkhead," and "Hate to Feel" didn't leave much room for doubt as to Cantrell's perspective. The quartet did have a slightly lighter, almost poppy side to them, though, as "God Smack" and "Hate to Feel" indicate. Ultimately, Dirt is classic angst rock. --Everett True
-----------------------------------------------------------
08. Nine Inch Nail: Downward Spiral
09. Rage Against The Machine: Rage Against The Machine
10. Mudhoney: Mudhoney
11. Jane's Addiction: Ritual De Lo Habital
12. Stone Roses: Stone Roses
13. Creed: Human Clay
14. Stone Temple Pilots: Core
-----------------------------------------------------------
"While many blasted these guys from San Diego for being too 'inspired' from the boys of Seattle, STP put out some good tunes."
-----------------------------------------------------------
15. Jesus and Mary Chain
16. Violent Femmes: Violent Femmes
17. The Smashing Pumpkins: Mellon Collie and the Infinite Sadness
18. Temple of the Dog: Temple of the Dog
-----------------------------------------------------------
" This group combined members of Pearl Jam and Soundgarden."
This 1991 Seattle supergroup brought together Chris Cornell and Matt Cameron of Soundgarden with the surviving members of Mother Love Bone (Jeff Ament, Stone Gossard) and Eddie Vedder, later of Pearl Jam. The experiment worked. Cornell shines, seeming more comfortable here on this tribute to his former roommate and deceased MLB lead singer Andrew Wood than with his own band. "Hunger Strike" and "Say Hello 2 Heaven" combine glam and grunge better than anything in Love Bone's catalog, while "Wooden Jesus" is less didactic than anything in Pearl Jam's oeuvre. Most of the songs may be about loss and addiction, but this is compelling music for black days. --Charles R. Cross
-----------------------------------------------------------
19. PJ Harvey: To Bring You My Love
20. Hole: Live Through This
Monday, January 30, 2006
Fahrenheit 9/11 - March of Protests
Tahun 1969, event Woodstock menggariskan suatu bentuk keterlibatan musik dalam bidang politik, isu internasional dan kemanusiaan. Festival yang menjadi simbol kepekaan manusia itu melahirkan ikon-ikon pejuang musik dalam diri Bob Dylan, Jimi Hendrix, Jefferson Airplane, dan sebagainya. Di tahun 1994, sekuel event tersebut coba digagas ulang. Kali ini dengan isu sensitif peralihan generasi (genX), lebih kepada bentuk kesadaran. Hampir berhasil, tetapi tetap saja muatannya lebih komersil. Mungkin dari sederet, Bob Dylan kembali hadir mengaskan ikon festival ini bersama Peter Gabriel dan Cypress Hill. Lima tahun berselang, ajang ini sudah murni menjadi ajang komersil ketika deretan musisi semacam Fred Durst menguasai venue Woodstock 99.
Di tahun yang sama, sebuah kompilasi kemanusiaan dirilis untuk mengingatkan kontribusi musik pada bidang tersebut. No Boundaries, A Benefit for Kosovar Refugees menjadi album yang mengumpulkan kepedulian musisi untuk turut berderma dalam membantu korban perang Serbia-Kosovo. Minus Bob Dylan, tetapi Pearl Jam, Neil Young, Indigo Girls dan juga Rage Against the Machine menjadi ikon baru untuk band-band yang menyisakan kepedulian terhadap masalah yang berada di ujung berlawanan dari industri hiburan. Album ini kembali menghidupkan riak-riak protes sebelum masuk ke era millenium baru di mana sejumlah peristiwa internasional menyulut kontribusi dari industri musik untuk lebih peka.
Awal semester kedua tahun 2001, dunia diguncang oleh peristiwa kamikaze pesawat komersial ke bekas gedung tertinggi dunia, World Trade Center. Tragedi yang dikenal dengan nama 9/11 itu kemudian melahirkan dampak meluas bagi dunia. Amerika Serikat, negara adidaya yang relatif tidak pernah merasa terancam, dengan adanya peristiwa tersebut kemudian mulai melancarkan agitasinya untuk menunjukkan kekuatannya. Afghanistan dan Irak menjadi sasaran dalam lingkup yang lebih kecil. Dalam skala yang lebih besar, banyak hal yang terjadi di balik peristiwa tersebut, yang diantaranya permainan boneka-boneka kapitalis untuk membentuk dunia baru berlandaskan asas mereka. Hal itulah yang menginspirasi Michael Moore untuk melihat lebih dalam, dan mengungkapkan kecurigaan keterlibatan presiden Amerika Serikat, George Walker Bush dalam tragedi kemanusiaan tersebut. Melalui film dokumenter nan heboh-nya, bertitel Fahrenheit 9/11, Moore memberikan pandangan lebih luas mengenai latar belakang dan kemungkinan penyebab peristiwa 9/11 tersebut, dan juga motivasi-motivasi dibalik agresi militer AS ke Afghan dan Irak.
Moore merasa membutuhkan dukungan dari kalangan yang bisa membawakan pesan. Seperti halnya kesuksesan festival Woodstock dan kompilasi No Boundaries, Michael Moore mengumpulkan lineup dan ikon vokal dari industri musik yang peka terhadap masalah-masalah politik dan isu internasional serta kemanusiaan. Bob Dylan kembali hadir dan membawa Bruce Springsteen serta Pearl Jam untuk mengisi lineup kompilasi. Chimes of Freedom dan Master of War dibawakan oleh Springsteen dan Pearl Jam dalam performa live mengisi kompilasi. Kemudian mantan anggota Rage Against the Machine juga turut menyumbangkan dua karya dalam bentuk yang berbeda. Zack de la Rocha membuat komposisi rap-rock yang kental dalam We Want It All, sementara Tom Morello dengan side projectnya bertajuk Nightwtchmen menyanyikan ballad ala Dylan dalam No One Left.
Generasi baru diwakili oleh Black Eyed Peas dan System of A Down untuk membawa suara yang familiar dengan anak muda tahun 2000-an. Steve Earle, The Clash dan John Fogerty masih membawa nuansa generasi bunga tahun 70-an untuk bersikap kritis. Mendengarkan kompilasi ini, serasa membawa alam baru untuk berdemonstrasi positif terhadap pemerintahan. Kontribusi maksimal dari lagu-lagu yang dipilih, mulai dari empati atas korban perang, kebencian terhadap pertikaian politik dan sebaginya adalah suara-suara yang diwakili oleh musisi dalam kompilasi ini. Secara umum, membeli album ini adalah membeli suara dari barisan demonstran yang secara tegas menyuarakan pendapatnya dalam bentuk karya yang indah. Lineup yang terpilih juga merupakan estafet yang bagus untuk menunjukkan adanya ikon musisi yang peduli terhadap masalah kebangsaan dan kemanusiaan. Mulai dari era Bob Dylan yang merintis event Woodstock, sampai ke selera Black Eyed Peas yang mendominasi dekade 2000-an.
Lebih lanjut, beberapa alumni kompilasi ini kembali membuat festival kepedulian dalam tur Vote for Change. Pearl Jam, REM, Death Cab for Cutie dan sebagainya mewakili generasinya untuk bersikap oposan terhadap pemerintahan Bush. System of a Down dan Nightwatchmen membentuk Axis of Justice sebagai poros protes terhadap pemerintahan. Sementara Bruce Springsteen dan Bob Dylan adalah alumni yang menjadi begawan musisi-musisi untuk bersikap kritis!
Song lineup:
1. I Am A Patriot (And The River Opens For The Righteous) - Little Steven & The Disciples Of Soul
2. Chimes Of Freedom (Live) - Bruce Springsteen
3. With God On Our Side - Bob Dylan
4. We Want It All - Zack De La Rocha
5. Boom! - System Of A Down
6. No One Left - The Nightwatchman
7. Masters Of War - Pearl Jam
8. Travelin' Soldier - Dixie Chicks
9. Fortunate Son (Live) - John Fogerty
10. Know Your Rights - The Clash
11. The Revolution Starts Now - Steve Earle
12. Where Is The Love? (Radio Edit) - Black Eyed Peas Feat. Justin Timberlake
13. Good Night, New York (Live) - Nanci Griffith
14. Hallelujah - Jeff Buckley
Friday, January 06, 2006
Female that Struggle (Female that Rocks Pt. II)
Lantas gw sadar semacam fenomena yang terjadi, bahwa female pop/rockstar itu suffering dari yang namanya sexual judgement (apa hubungannya sama nyari CD coba?). Lihat saja betapa Britney Spears, Maddonna, atau Destiny's Child begitu diagungkan sampai menjadi seorang diva? Atau di negeri sendiri dimana Krisdayanti menjadi sangat tenar. Fisik sangat menentukan. Itu halnya kenapa ada pilihan juga buat para musisi perempuan tersebut untuk kemudian memanfaatkan "shortcut". Sebutlah dengan menjual imej "bitchy" seperti yang ditulis oleh reporter Trax, Soleh Solihun baru-baru ini tentang duo Ratu (meski secara eksplisit). Di situ dituliskan upaya Maya Achmad untuk ber-attitude "nakal" dalam konsernya di Bandung dengan menyebutkan berulang kali kata yang bermakna bagian privat perempuan dalam bahasa Sunda. Itu hanyalah satu kasus.
Lihatlah bagaimana produser dari duo lain dari Rusia, yang nampaknya menjadi inspirasi Maya Achmad, t.A.t.u. Heboh kasus mereka beradegan cium tampaknya sudah membentuk imej tersendiri mengenai lagu yang mereka lantunkan. Tidak secara "khas" seksi, tapi imej seksual-lah yang membentuknya. Juga heboh-heboh kasus ciuman Britney Spears dan Maddonna serta Christina Aguilera di MTV Awards beberapa tahun lalu. Imej membentuk bahwa mereka seksi (sekaligus naughty), yang tentunya meroket di dunia yang penuh dengan justifikasi citra ini. Sejak era pergantian media, dari radio ke televisi, budaya spektasi-pun turut berubah. Tadinya budaya dengar kini menjadi budaya nonton. Dalam alam budaya dengar, kualitas produk yang berwujud musik itu absolut. Kita kudu ngehasilin karya yang layak untuk didengar melalui radio-radio atau rekaman vinyl. Oleh karena itu, dulu orang beramai-ramai menciptakan karya yang layak putar di radio berwujud lagu yang bagus. Profesi songwriter menjadi lahan bagi diva-diva sesungguhnya sebagai bekal menuju tangga showbiz. Muncul nama-nama Karen Carpenter dan kawan-kawan yang menjadi tonggak musisi perempuan untuk berbicara melalui karya.
Medio 80-an, televisi melalui MTV mulai merambah masuk industri. Maddonna menjadi diva bentuk baru dalam budaya lihat. Performa adalah segalanya, dan kebetulan Maddonna yang saat itu sangat menjual kemolekan tubuhnya menjadi ikon biduanita baru dalam industri musik, sekaligus perlahan-lahan menyisihkan musisi lainnya yang berasal dari budaya lama, yaitu budaya dengar. Beberapa diantara mereka kemudian memilih untuk berkontribusi menulis lagu untuk perempuan-perempuan lain yang siap menggunakan daya tarik seksualnya untuk kepentingan publisitas. Dalam bahasa kasar, kini mereka juga menjual tubuhnya selain merdu suara. Kapasitas menulis lagu yang bagus bisa ditutupi dengan sensualitas atau sensasi lain yang didukung oleh budaya lihat (a culture of spectacle) tersebut.
Mulai dari tahun 90-an sampai sekarang bisa dibilang jika musisi perempuan yang ol-skool (dari budaya dengar) sudah terpinggirkan sepenuhnya. Siapa yang mendengarkan Janis Joplin sekarang? Lagu Joan Jett lebih dikenal sebagai lagu Britney Spears, serta beralih profesinya Linda Perry menjadi songwriter untuk Christina Aguilera dan Pink. Beberapa di antara musisi ol-skool itu masih ada yang struggle untuk berjuang melawan culture of spectacle ini. Sebut saja Indigo Girls yang dalam sleeve album Retrospective-nya mengungkapkan perlawanan militan terhadap apresiasi yang seimbang bagi musisi perempuan. Terus terang gw cuman tahu Indigo Girl ketika mereka berpartisipasi dalam album kompilasi "No Boundaries: A Benefit for Kosovar Refugees" dengan lagu semi trip-hop-folk-dark berjudul Go. Ternyata setelah gw dengerin lagi (dari Retrospective, album best-nya) Indigo Girl merupakan "saingan" bagi musisi folk pria. Karyanya bisa dibandingkan dengan karya Bob Dylan sekalipun (dalam taraf apresiasi). Duo yang juga menolak segala imej atas potensi seksual mereka (dengan menolak komersialisasi) ini juga membentuk semacam aliansi bagi musisi-musisi perempuan untuk turut melawan "penindasan" terhadap apresiasi musik mereka yang akibat pergeseran media menjadikan mereka hanya semacam objek, bukan subjek.
Festival Lilith Fair diadakan salah satunya oleh Indigo Girl, dan diprakarsai oleh musisi perempuan lain bernama Sarah McLachlan. Semua tentu pernah mendengar dahsyatnya kekuatan musik dari McLachlan dalam lagunya yang berjudul Angel, Sweet Surrender, atau Possesion. Kemampuannya dalam mengolah adonan musik dasar rock, folk dan juga pop membentuk karakter musiknya sendiri. Selain Indigo Girl dan Sarah McLachlan; Sheryl Crow, dan Jewel juga pernah berpartisipasi dalam Lilith Fair. Lilith Fair secara berkala mengadakan tur keliling Amerika Serikat dan juga Eropa untuk membangun eksistensi mereka dalam dunia musik. Melalui rangkaian konser, promo mereka mengikuti promo ol-skool yang tidak pernah berlebihan tampil di media televisi, namun mengadakan interaksi aktif dengan penggemarnya dalam rangkaian konser. Mungkin jika Britney Spears, Ashley Simpson, dan Destiny's Child mengadakan konser, banyak laki-laki yang mungkin tertarik untuk turut menonton jauh dari sifat apresiasi terhadap karya. Tetapi juga kemungkinan untuk memanjakan nafsu-nafsu seksualnya yang bisa sedikit tergambarkan dalam aksi panggung Spears dan kawan-kawan. Lihatlah Lilith Fair! Sebagian besar audiens adalah perempuan yang merasakan nikmatnya apresiasi kesetaraan. Melihat Indigo Girl bermain improvisasi bersama Sheryl Crow memainkan lagu-lagu lama Cat Stevens sama nikmatnya seperti kita melihat Eddie Vedder bermain bersama Bruce Springsteen memainkan lagu Bob Dylan. Itu adalah apresiasi kesetaraan. Let the music do the talkin'!
Tapi lihatlah juga apa yang telah dilakukan industri musik terhadap mereka. Susahnya kita di Indonesia untuk mencari CD-CD dari Indigo Girl, Heather Nova, Aimee Mann atau Sarah McLachlan? Cobalah mencari musik-musik dari artis seperti A Girl Called Eddy, Shivaree, Ani Di Franco, Sarah Fimm, atau Maria Taylor. Tidak akan ada yang menyadari nikmatnya mendengarkan folk psikedelik dari Marissa Nadler karena albumnya tidak pernah ada di Indonesia. Mungkin ketika kita beruntung, beberapa nama itu akan muncul dalam album kompilasi seperti soundtrack. Misalnya Suzanne Vega yang beberapa kali berpartsipasi dalam soundtrack, salah satunya bersama Bruce Springsteen, Eddie Vedder, Nusrat Ali Khan di OST Dead Man Walking. Atau Shivaree yang dipercaya Quentin Tarantino dalam jukebox Kill Bill bersama Nancy Sinatra. Indigo Girl berdiri sejajar dengan aktivis sosial semacam Pearl Jam, Rage Against the Machine, Neil Young dan Tori Amos (another diva). Michelle Branch diakui kapabilitasnya bersama Carlos Santana. Atau di kancah lokal dengan munculnya Tika dalam wujud album perdanaya Frozen Love Songs. Serta Sarah Silaban yang meluncurkan singel-nya. Mereka berjuang membentuk kutub tersendiri melawan eksploitasi industri musik atas "pelecehan seksual" gaya baru. Tetapi sebagai bangsa konsumen, di Indonesia kita masih butuh perjuangan untuk melanggengkan perjuangan kesetaraan tersebut karena terbatasnya sumber-sumber. Mungkin jika makin banyak Sarah Silaban, Tika dan sebagainya kemudian membangunkan Lilith Fair ala Indonesia, kesadaran apresiasi yang seimbang itu akan muncul. Suatu pelajaran budaya yang menarik. Sampai waktu itu, terimalah kenyataan bahwa seorang Kelly Osbourne atau Kelly Clarkson jauh lebih populer dibanding Heather Nova atau bahkan Indigo Girl.
Recently bought CD's:
Victoria Williams - Loose: Folk, salah satunya ada lagu Crazy Mary tentang perempuan pemabuk. Sedikit seperti Neil Young atau Bob Dylan, something in between. Suara cempreng tapi lirik lagu yang dahsyat.
Fiona Apple - Tidal: Apa yah klasifikasinya? Trip Hop, Jazz, Pop sama Rock ada semua. Secara umum masih kurang rapi sih konsepnya, tapi coba denger dengan low tune sambil tidur. Menggetarkan dan bikin atmosfer yang lumayan dark. Membuat ruangan kita menjadi makin nyaman.
Indigo Girl - Retrospective: Powerful! Folk dan pop bisa menjadi irama-irama yang soulful. Coba didengarkan atau dimainkan sama bagusnya. Sama enjoynya gw mendengarkan Vedder atau Bruce Springsteen. Sama enjoynya dimainkan di api unggun.
Sarah Silaban - EP: Well, pop, tapi at least dia juga seorang songwriter jempolan! Mulai cinta produk lokal nih.
Recently downloaded and will murder to get their CD's:
A Girl Called Eddy (hmm...mirip-mirip Shirley Manson-nya Garbage, lebih halus lagi. Rock),
Ani di Franco (ini nih gw demen, bayangin Bu$hleaguer-nya Pearl Jam disuarain sama Ully Sigar Rusadi...dengan suara yang lebih merdu dan isu yang lebih nendang tentunya),
Linda Perry (we all know, the frontwoman of Four Non Blondes),
Maria Taylor (antara Fiona Apple dan Sarah McLachlan...keren banget),
Marissa Nadler (didengerin sambil mabok...hehe, psikedelik sekali, ala 60-an kental),
Nina Nastasia (musik minimalis, suara merdu a lil' bit trip hop...bolehlah buat yang suka Bjork dengan kecenderungan lebih easy listening),
Pink N Ruby (trip hop, ala Massive Attacks tapi lebih mentah jadi sedikit gothic juga),
Sarah Fimm (another trip hop-rock yang keren dengan suara "gelap" dan gloomy, mungkin mirip sama Fiona Apple juga di album Tidal),
Sophie Barker (folk-country dan cenderung pop),
Tara Angell (dark dan moody, gloom...didengerin di low tune).