Tuesday, November 15, 2005

Menghargai Perempuan (versi Rock N Roll)

Dunia rock n' roll memang sepertinya didominasi kaum adam. Apalagi istilah atau attitude sex - disamping drugs - menjadi suatu elemen wajib bagi para rocker (yang juga manusia) tersebut. Bahkan banyak band-band "ABG" yang baru bermunculan seperti My Chemical Romance, Good Charlotte, Simple Plan atau apalah itu namanya mengaku bahwa salah satu obsesi main band mereka adalah juga demi mendapatkan perhatian kaum hawa. Patron yang berlaku, jika pengen ngedapetin cewek di hi-skul Amrik, kalo ngga jadi bintang olahraga ya nge-band. Segitu hebatnya magnet makhluk perempuan itu. Sampai-sampai banyak band yang menjadikan perempuan sebagai subjek tulisan lagu, inspirasi. Apa yang terekam dalam film besutan sutradara Cameron Crowe, "Almost Famous", bisa menjadi suatu ilustrasi. Begitu pentingnya kehadiran cewek dalam band rock n' roll (apalagi hip hop dewasa ini yang semakin eksplisit menampilkan hal itu).

The Donnas
The Donnas, berpenampilan manis, cute dan "seksi", tidak membuat mereka berhenti berkarya. Donnas menghasilkan musik yang "unpopular", sesuai dengan keinginan bermusik mereka, meski sempat angkat tenar dengan masuknya Garage Rock ke dalam industri musik dunia.
So, apa yang akan terjadi jika satu band tersebut semuanya perempuan? Inget film "10 Things I Hate About You"? Karakter Julia Stiles di film tersebut yang sangat idealis-feminism digambarkan sangat menggilai girl's rock movement. Yaitu band-band rock n' roll based yang semua anggotanya perempuan. Beberapa band rock yang beranggotakan cewek memang memberi inspirasi bagi kaum hawa, sementara bagi cowok, band semacam itu enaklah dilihat. Bagi beberapa orang (cowok) sangat menyenangkan melihat cewek yang mempunyai attitude (bukan fake bikinan produser, sorry, kaya Avril Lavigne atau Kelly Clarkson), tapi yang dalam istilah beberapa orang disebut sebagai sexy and rock n' roll. The Donnas misalnya, band garage yang semua personelnya cewek ini bisa dibilang sebagai "spice girls"-nya dunia cewek, kecuali tentu saja mereka menulis musik mereka sendiri. Musik old-skul rock n' roll simpel ala The Ramones mungkin, menjadi jembatan attitude mereka. Band lain misalnya, Sleater Kinney, yang terdiri dari trio cewek. Meski dengan tampang yang tidak "sekeren" The Donnas, integritas bermusik mereka mendapatkan banyak acungan jempol dari kalangan musisi. Pearl Jam bahkan membawa Kinney's tur konser bersama mereka. Lagu-lagu Kinney's memang lebih kompleks (dan lebih "unpopular") dibanding The Donnas yang sangat kental "garage"-nya. The Donnas sangat tertolong oleh nge-hip-nya Garage Rocks, maka Sleater Kinney lebih banyak berjuang dari sisi bawah sampai mulai menapaki tangga sukses lewat serangkaian tur bersama Pearl Jam. Sehingga sekarang nama terakhir lebih resisten di kancah musik Amerika. Mengingatkan kita pada Kittie, band numetal asal Amerika juga yang meroket bebarengan dengan melesatnya nama-nama KoRn, LimpBizkit dan sebagainya di mainstream musik dunia.

Sleater Kinney
Carrie Brownstein, Corin Tucker dan Janet Weiss dari Sleater Kinney. Ngga se-cute anak-anak The Donnas, tapi done it with attitude. Still rule their own music dan mendapatkan banyak apresiasi dari banyak musisi di Amerika Serikat.
Band-band tersebut bisa menjadi contoh tentang sisi pendekatan bagi cewek untuk tetap idealis mencari attitude mereka sendiri. Tidak selalu menjadi objek dari cowok, tetapi membuktikan eksistensi mereka sendiri. Sutradara Quentin Tarantino yang secara eksplisit mengetengahkan fenomena tersebut dalam film "Kill Bill" juga menunjuk band garage asal Jepang The 5678's sebagai salah satu featurer dalam film. Dari sekian jagoan yang cewek (anggota DyVAS, kecuali Michael Madsen), muncul juga alter-jagoan berupa Japanese SchoolGirl Freak (GoGo Yubari) anak buah O Ren Ishii dalam klub yang menampilkan The 5678's.

Isu kesetaraan gender yang merebak bersama posmodernisme ini menjadi jembatan bagi band-band berpersonel cewek untuk menunjukkan eksistensi mereka melalui attitude dan konsep yang pas sehingga tidak melulu menjadi media pemuas visual dunia musik belaka. Apa yang terjadi dengan Bond adalah konsep yang setali tiga uang dengan munculnya Atomic Kitten, Spice Girl dan sebagainya. Mereka memang berpersonel cewek, tetapi tidak dengan attitude mandiri. Mereka hanyalah objek yang dimanfaatkan produser untuk menjadi gula-gula visual industri musik. The Donnas, Kittie, atau Sleater Kinney meski tidak begitu "mendunia" tetapi mereka berhasil menemukan jatidiri bermusik mereka. Mereka berdiri di sana karena tahu apa yang harus dilakukan.

Melissa Auf Der Maur
Bassis "freelance" paling terkenal di dunia sub-pop, Melissa Auf Der Maur. Meski dikarunia tampang yang "laku dijual", Der Maur membuktikan diri dengan eksistensi permainan bass-nya di antaranya lewat Zwan atau A Perfect Circle.
Ada juga cewek yang mengambil peran sebagai penyeimbang dalam band yang multi-gender. Roxette misalnya. Marie Fredriksen tidak hanya berfungsi menjadi pemanis belaka dalam duo tersebut, tetapi menjadi jiwa yang pas bagi musik Roxette. Apa yang terjadi Roxette tanpa Marie? Atau nyawa Cranberries yang berada di tangan Dolores O' Riordan. Di kancah lokal, Kikan juga menjadi soul buat band Cokelat. Karakter suara Kikan sangat lekat dengan imej musik yang dibuat oleh Cokelat. Berbeda kasus dengan band orbitan seperti Ratu. Meski hadir dengan beat-beat unik dan easy listening (yang menjadi keahlian maestro Ahmad Dhani), Ratu adalah band yang dikonsepkan untuk menjadi band "visual" di mata cowok. Konsep dan target audiens mereka sebetulnya adalah kaum adam. Tetapi karena karakter pasar musik Indonesia yang cenderung "lugu", banyak juga pangsa cewek mengartikan Ratu sebagai band yang membela kepentingan mereka. Hal ini sama persis dengan fenomena TATU, dari Russia yang bahkan semakin profan menunjukkan kapasitas "imej" mereka dengan serangkaian adegan lesbian di panggung. Atau Kelly Clarkson dan Avril Lavigne yang "dipaksa" berdandan dengan rockstar-attitude (yang cuek), sebagai bungkus luaran imej. Tetapi tetap saja mereka tidak akan mengalahkan attitude Alanis Morissette pada saat rilis "Jagged Little Pill" di tahun 95 lalu. Britney Spears boleh mengcover lagu Joan Jett' "I Love Rock N Roll", tetapi hanya sebatas meng-cover lagu. Tanpa mengandalkan visualisasi gender (baca: daya tarik imej seksual), tidak mudah bagi kaum hawa menembus mainstream musik rock n roll dunia, apalagi mendapatkan apresiasi setara dengan sejumlah band. Paling-paling, mereka kemungkinan berhasil ketika menjadi salah satu anggota di antara personel lain yang cowok. Tarja Turunen berhasil menghidupkan Nightwish karena kesesuaian konsep "metal-opera". Bakat besar Tarja dalam musik opera sangat cocok dengan karakter musik metal di Eropa. Konsistensi Nightwish patut diacungi jempol dalam membuat musik yang konsisten dari album pertama sampai terakhir merilis Century Child sebagai full album terakhir. Tentu saja keterlibatan Tarja, meski hanya sebagai penyumbang suara, sangat menginspirasi personel lain Nightwish dalam membuat musik. Dalam hal ini, kapasitas gender Tarja tidak melindungi dari "misapresiasi dan misintepretasi". Seperti Juga Dolores, Linda Perry (4 Non Blondes) atau Marie Fredriksen yang meski berada di lingkungan yang didominasi pria, tetap berhasil membuktikan karakter dan kemampuan mereka, jauh dari kesan "memanfaatkan" atau mengiba dengan status gender mereka. Dalam kasus pemegang instrumen (bukan biduan), Billy Corgan tentu mempunyai pertimbangan jelas untuk mengajak D'Arcy atau kemudian Melissa Auf Der Maur dalam The Smashing Pumpkins atau Zwan.

Banyak contoh nama di dunia rock n' roll yang bisa menjadi contoh kasus wanita dengan attitude. Bukan semata "produk" yang dijual, tetapi juga membuktikan kapasitas mereka melalui karya. Long live sexy and rock n roll!

1 comment:

Fenty Lovegood said...

Girl Rules !!!!!
Oke banget bahasannya .... setuju banget ... baru kali ini aku ngerti dengan tulisannya mas hilman, hehehe. Dari kemaren bahasannya banyakan tentang pearl jam dan band cowok.